Mengunjungi Makam Pengikut Pangeran Diponegoro Di Banyuwangi

Candi Sonja Ruri

Ziarah ke makam pengikuti Pangeran Diponegoro di Temuguruh, Sempu, Banyuwangi

Siapa itu kang ? Orang-orang sekitar menyebutnya Raden Djojo Poernomo dimana makamnya terletak di Dusun Tojo Kidul, Desa Temuguruh, Kecamatan Sempu, Kabupaten Banyuwangi.  Makam ini seringkali ramai terutama ketika bulan Syuro (penanggalan Jawa Red) dimana peziarahnya tersebar di seluruh kota di Indonesia.  Sedangkan dari kabupaten dan kota di Jawa Timur juga tidak terhitung jumlahnya mendatangi makam yang terletak di lereng Gunung Raung ini.

sarasehan agung di temuguruh banyuwangiCeritanya gimana kang kok bisa tahu? Ini sekuel cerita ketika mendatangi nikahan kawan di Banyuwangi yang naik kereta kemarin…hehehe (postingan disini). Setelah ngobrol ngalur ngidul dengan warga disana ternyata malam itu barusan ada acara Sarasehan Agung yang dihadiri oleh Bupati Banyuwangi. Insting blogger pun berbunyi…xixixii. Ada apakah gerangan?. Owh…ternyata didekat situ terdapat makam yang cukup dikeramatkan serta ada perkumpulan penghayat atau pengamal aliran kepercayaan “ Pirukunan Purwo Ayu Mardi Utama”. Dan ternyata jaraknya sangat dekat cuma radius 300 meter dari rumah kawan tadi. Wis cucok iwak endok … :mrgreen: .

pintu masuk candi sonja ruriSelepas acara akad nikah dan walimahan kawan tadi maka ane pun berburu untuk mengobati rasa penasaran terkait keberadaan makam serta perkumpulan tadi.  Dengan berjalan kaki ditemani salah seorang kerabat kawan tadi maka ane menuju makam Raden Djojo Poernomo yang ada di tengah areal persawahan.  Tidak ada papan penunjuk yang mengarahkan ke arah makam dan sepertinya gapura juga baru dipugar atau dibangun.

papan nama makam Raden Djojo PoernomoBerjalan sekitar 5 menit akhirnya sampai diareal makam yang sejuk dan teduh dibawah rindangnya pepohonan.  Menurut informasi yang ane dapatkan Raden Djojo Poernomo ini merupakan murid Pangeran Diponegoro yang menyebarkan agama islam di daerah situ dan beliau wafat pada  9 Februari 1956. Memasuki areal makam kita akan disambut dengan tulisan Jawa, “Kena Lumebu Jen Wes Weruh Djerone”. Sedangkan tulisan papan nama makam sendiri malah tertutupi dengan rimbunan semak-semak atau tumbuhan yang bergelantungan.

areal makam raden djojo poernomoMenuju makam Raden Djojo Poernomo kita akan disambut dengan karpet merah. Berhubung hari itu bersamaan dengan Sarasehan Agung maka cukup banyak peziarah. Di Sekitaran makam ini ada taman-taman, pohon pisang, pohon singkong, musholla, air kolam serta beberapa makam diluar cungkup utama.  Selain itu juga ada bola besar ditengah kolam yang bertuliskan huruf jawa. Ane tidak paham maksudnya karena tidak ketemu dengan juru kunci makam.

Makam Raden Djojo PoernomoSengaja ane tidak masuk ke pemakaman utama Raden Djojo Poernomo. Kenapa bro ? sebagai orang asing disitu ane tidak ingin disebut wong kurang ajar, ora duwe unggah-ungguh, dan urakan atau apalah memasuki makam yang dikeramatkan tanpa mengetahui adab-adabnya. Maklum daripada salah tingkah atau entar kena semprot orang-orang disekitar yang kebanyakan anggota “ Pirukunan Purwo Ayu Mardi Utama”  maka ane mengurungkan niat memasuki  makam utama. Soalnya ane lihat sekilas ada tata krama tersendiri beberapa orang yang telah keluar berziarah.Yah cukuplah foto-foto dari luar ini sebagai  gambaran keberadaan makam orang yang dihormati dan disegani ini meskipun tindakan ini juga mbeling soalnya gak pake permisi :mrgreen:  .

Pirukunan Purwo Ayu Mardi UtamaAne sendiri tidak sempat bertanya lebih jauh kepada teman ane tadi  terkait ajaran Raden Djojo Poernomo ini.  Namun yang jelas didekat jalan raya menuju makam ini terdapat Dewan Pinisepuh Pusat “ Pirukunan Purwo Ayu Mardi Utama”.  Apakah ini ada keterkaitan dengan pelestarian ajaran Raden Djojo Poernomo atau seperti apa ane kurang begitu paham. Yang jelas disekitaran makam terdapat banyak ajaran-ajaran filosofis Jawa seperti  “Kena Munggah Jen Wis Weruh Duwure, Teka Ora Mara, Musna Ora Lunga, dan Imbuh Ora Wawuh, Suda Ora Kalung” , ““Sri Naga Radja, Paring Wangsit Bedja Kang Bisa Nampa”. Mungkin kawan yang dari Banyuwangi bisa menambahkan cerita lebih lanjut Raden Djojo Pernomo beserta ajaran-ajarannya.

kolam di makam raden djojoAkses jalan menuju makam ini mestinya diperhatikan oleh pemerintah setempat karena ini merupakan aset sejarah atau cagar budaya. Terlebih hampir setiap tahun selalu ada acara di sekitar makam ini sehingga bisa mendapat pendapatan daerah.  Bukan begitu ?

Maturnuwun

makam raden di temuguruh banyuwangi

Legenda Desa Macan Putih Kecamatan Kabat Kabupaten Banyuwangi

LEGENDA  DESA MACAN PUTIH KECAMATAN KABAT KABUPATEN BANYUWANGI

“PRABU TAWANG ALUN”

            Kerajaan Tawang Alun minangka kerajan ing Banyuwangi kerajaan kuwi dijenengi Tawng Alun amarga dipimpin kaliyan Kerajan Tawang Alun,  yen saiki pangenane ana ing Kecamatan Rogojampi, masa kerajaan Tawang Alun jaman kejaanae bibar kejaraan Blambangan yaiki masa Minakjingga miturut carita yen kakuwasane kerajaan Blambangan kuwi saka daerah srono megidhul – ngulan yaiki tekan alas purwa, yen  kakuwasanane Tawang Alun saka daerah Rogojampi Tekan Banyuwangi kutha, Prabu Tawang Alun minangka Ratu kerajaan kang ngugemi banget marang rakyate saengga kerajane bisa loh jinawi  rakyat tentrem ora kurang pangan  amarga rakyat kang demen banget kaliyan Prabu Tawang Alun nggawe adine Tawang Alun yaiku Wira Brata cemburu lan rebutan kakuwasan kaliyan Prabu Tawang Alun, sipate Wira Brata kebandhing kuwalik kaliyan Prabu Tawang Alun, Wira Brata nduweni sipat kasar lan sekarepe dhewe, Wira Brata kepingin alih kakuwasaan, Prabu Tawang Alun wedi yen Wira Brata ora bisa mimpin kerajaan saengga njalari peperangan antarane Prabu Tawang Alun kaliyan Wira Brata ning Wira Brata diewangi kaliyan Prabu Gingsing, pungkasane Wira Brita mati ing tangane Prabu Tawang alun Patih Gingsing ora terima, dheweke milu tarung kaliyan Prabu tawang pungkasane Prabu Gingsing ya mati ning tangan Tawang Alun,

            Prabu Tawang Alun getun mentas mateni adhine, dheweke dadi murung , mula kuwi prabu tawang alun mutusake tapa, panggenane tapa Prabu Tawang yaiku ing Gunung Raung sasuwene tapa Prabu tawang alun keprungu swarane wong ngomong “HEI NGER ANAKKU, KOWE KOK KEPENAK-PENAKEN TAPA ING KENE, SADARO MENGKO YEN ANA MACAN PUTIH KUWI KEDARAANMU”  wektu kuwi Pangeran Tawang Alun melek lan weruh macan putih lan tarung kaliyan macan putih, pungkasane Macan Putih kalah lan lulut kaliyan Prabu Tawang Alun, lan numpaki Macan Putih, ujuk-ujuk macan putih mandhek ing salah sawijine panggenan mula panggenan kuwi dijenengi MACAN PUTIH kang ana ing kabupaten Banyuwangi, Kecamatan Rogojampi, jeneng Tawang Alun kuwi saiki digawe jeneng desa Tawang Alun ing Rogojampi lan didakake jeneng terminal Tawang Alun ing kecamatan Genteng.

Lampiran

Narasumber     : Narudin

Pekerjaan         : Juru Kunci Patilasan Prabu Tawang Alun

Alamat                        : Desa Macan Putih Kecamatan Rogojampi Kabupaten Banyuwangi

Patilasan ditemukake tahun 1964 liwat ngimpi saka bapake (mbahe) bapak Narudin,

PENULIS :

Jejak Resi Markandeya Di Dusun Wonoasih, Desa Bumiharjo, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi

Banyuwangi – Mata Air Sumber Urip di Dusun Wonoasih, Desa Bumiharjo, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi sehari-harinya ramai dikunjungi warga. Pengunjung tidak hanya dari kawasan Banyuwangi. Namun ada pula dari luar daerah.

Pengunjung yang datang dengan berbagai niat. Namun kebanyakan mereka datang untuk alasan spritual atau keagamaan. Tidak sedikit pula untuk mencari kesembuhan melalui jernihnya mata air yang memiliki ikatan historis dengan umat Hindhu ini.

Di area sumber air yang alami itu tersedia tiga kolam yang kerap dimanfaatkan pengunjung untuk mandi atau sekedar membasuh muka. Kolam lainnya digunakan untuk mandi dan satu kolam lagi dikeramatkan warga.

Kolam tersebut berbentuk setengah lingkaran, di bagian luarnya terdapat delapan pancuran air yang dibentuk menyerupai hewan. Persis di tengah-tengah bagian atas pancuran terdapat patung Dewi Mantili, seorang pendekar yang dikenal di zamannya.

Anggapan Mata Air Sumber Urip memiliki khasiat pengobatan, tak lepas dari sejarah ditemukan mata air yang berada di salah satu kaki Gunung Raung tersebut. Menurut Suwarno (35), juru kunci Mata Air Sumber Urip, sejarah sendang tersebut erat kaitannya dengan seorang tokoh besar agama Hindu di Indonesia.

“Kolam ini diyakini salah satu tempat tinggal Resi Markandeya (penyebar agama Hindu di Indonesia), selama menetap sang Resi kerap beraktifitas disitu,” jelasnya saat berbincang dengan Sunriseofjava.com beberapa waktu lalu, di lokasi.

Selain itu, lanjut laki-laki bertubuh sedang ini, khasiat air sendang terbukti memiliki berkah setelah salah seorang tokoh Hindu Banyuwangi, sembuh dari penyakit kronisnya setelah memanfaatkan air Sumber Urip. Terapi itu dilakukan atas petunjuk yang diterimanya saat melakukan semedi.

Pengalaman serupa juga dituturkan Rudi Setiawan (32), seorang pengunjung asal Desa Kandangan, Kecamatan Pesanggaran, saat ditemui di lokasi. Rudi yakin setelah mandi dan meminum air dari Mata air Sumber Urip, penyakit dalam yang dideritanya berangsur membaik.

“Sejak pertama kali saya terapi air di sini, penyakit dalam saya mulai berkurang,” jelasnya tanpa menyebutkan penyakit yang dideritanya.(Hamdani)

http://www.sunriseofjava.com/berita-238-mata-air-sumber-urip-jejak-resi-markandeya-di-banyuwangi.html