3 Hal Yang Membuat Pahala Berlimpah Bagi Wanita di Bulan Ramadhan

berbeda dalam beribadah. Oleh karena itu mengapa perempuan memiliki hari ‘libur’ dalam menjalankan ibadah wajib. Setidaknya seminggu dalam sebulan, ibadah-ibadah wajib itu berubah hukumnya menjadi haram ketika datang saatnya haid atau nifas.

Dalam momentum Ramadhan, seringkali diantara kaum perempuan merasa iri dengan laki-laki yang bisa menjalankan puasa sebulan penuh. Namun sebetulnya, peluang pahala bagi perempuan sangatlah melimpah. Terdapat beberapa amalan yang lebih cenderung dilakukan oleh perempuan dibandingkan oleh laki-laki. Apa saja kebaikan Ramadhan yang dapat diraih oleh perempuan?

Menyiapkan Hidangan Berbuka

Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Siapa yang menyediakan makanan berbuka bagi orang yang berpuasa, baginya pahala seumpama pahala bagi orang yang berpuasa tanpa mengurangi sedikitpun pahalanya (orang yang berpuasa itu),” (HR Al-Baihaqi & Ibn Khuzaimah).

Bayangkan berapa banyak jumlah anggota keluarga di rumah, maka sebanyak itulah pahala puasayang bisa kita dapatkan. Meskipun ada saatnya kita berhalangan untuk menunaikan ibadah puasa, namun Allah menyediakan ladang pahala-Nya yang berlimpah bagi kita jika turut menyediakan hidangan berbuka puasa.

Tidak hanya ganjaran dari menyediakan makanan yang didapat, namun juga pahala dari berinfak jika kita menyediakan makanan semisal ta’jil untuk musafir di perjalanan atau untuk orang-orang yang berbuka di mesjid.

Mengajak dan Menyediakan Sahur

Sebagai anggota keluarga perempuan, baik itu ibu maupun kakak, kita memiliki peran penting untuk membangunkan anggota keluarga lainnya untuk sahur. Rasulullah menganjurkan orang-orang yang berpuasa untuk sahur, sebagaimana sabdanya,

“Barsahurlah kamu semua, sesungguhnya dalam sahur itu ada barakah.” (HR Al-Bukhari & Muslim)

Dengan mengajak orang lain untuk sahur, kita dapat memperoleh pahala dari tawashobil haq atau menyeru pada kebenaran. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa ketika kita menyeru pada kebaikan, maka kita akan mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang melakukan kebaikan tersebut.

Suami Beri’tikaf di Mesjid pada 10 Malam Terakhir Ramadan

Saat suami atau anggota keluarga laki-laki di rumah melaksanakan i’tikaf di mesjid pada 10 hari terakhir Ramadhan, biasanya anggota keluarga perempuan tetap di rumah untuk menyediakan keperluan anggota keluarga lainnya, termasuk keperluan sahur dan berbuka. Meskipun tidak ikut beri’tikaf, namun peluang pahala yang dimiliki perempuan pun sangat besar. Karena dengan membantu suami menyiapkan keperluannya untuk i’tikaf dan selalu siap sedia menjaga keluarga di rumah, kaum perempuan memperoleh pahala yang besar atas kesiagaannya. Sebagaimana sabda Nabi Saw:

“Siapa yang mempersiapkan seorang pejuang, maka sesungguhnya dia telah berjuang. Dan siapa yang menjaga dengan baik ahli keluarga seseorang yang pergi berjuang, maka sesungguhnya dia juga telah berjuang,” (H.R. al-Bukhari dan Muslim). [islampos/mediazoya]

sumber

islampos

5 Macam Tradisi Seks Teraneh di Dunia

VIVAlife –  Di dunia, ada berbagai tradisi menyangkut seksualitas yang telah menjadi warisan turun-temurun selama berabad-abad. Sebagian, dianggap manusia modern sebagai tradisi yang aneh, bahkan tabu. Sebagaimana dilansir Askmen, ada lima budaya seks yang dianggap tabu.

#5 Tradisi minum air mani tetua suku

Praktik yang berlaku di Zambia ini dilakukan para remaja pria yang beranjak dewasa. Mereka diwajibkan meminum air mani tetua suku untuk mempersiapkan mereka menuju kedewasaan.

#4 Seks pranikah di Iran

Seks sebelum menikah dianggap dosa berat di negara-negara Muslim. Tapi di sebagian masyarakat Iran, hubungan seksual sebelum menikah merupakan tradisi yang umum.

#3 Poliandri di Himalaya

Seorang wanita yang memiliki banyak suami yang saling bersaudara, umum terjadi di wilayah sekitar Himalaya. Tradisi kuno ini digunakan sebagai cara praktis menghindari pemecahan lahan pertanian yang merupakan aset paling berharga di suatu keluarga.

#2 Pemutihan organ genital di Asia Tenggara

Empat dari 10 wanita di Asia Tenggara melakukan perawatan pemutihan kulit di bagian organ genital mereka. Tradisi ini meyakini bahwa kulit putih di area intim membuat mereka jadi lebih seksi.

#1 Bercinta dengan keledai di Kolombia

Di Cartagena, kota di Kolombia Utara, ada tradisi di mana para remaja laki-laki secara rutin berhubungan seks dengan keledai. (kd)

Sumber ;

http://life.viva.co.id/news/read/420595-5-tradisi-seks-yang-teramat-aneh-di-dunia

Jejak Resi Markandeya Di Dusun Wonoasih, Desa Bumiharjo, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi

Banyuwangi – Mata Air Sumber Urip di Dusun Wonoasih, Desa Bumiharjo, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi sehari-harinya ramai dikunjungi warga. Pengunjung tidak hanya dari kawasan Banyuwangi. Namun ada pula dari luar daerah.

Pengunjung yang datang dengan berbagai niat. Namun kebanyakan mereka datang untuk alasan spritual atau keagamaan. Tidak sedikit pula untuk mencari kesembuhan melalui jernihnya mata air yang memiliki ikatan historis dengan umat Hindhu ini.

Di area sumber air yang alami itu tersedia tiga kolam yang kerap dimanfaatkan pengunjung untuk mandi atau sekedar membasuh muka. Kolam lainnya digunakan untuk mandi dan satu kolam lagi dikeramatkan warga.

Kolam tersebut berbentuk setengah lingkaran, di bagian luarnya terdapat delapan pancuran air yang dibentuk menyerupai hewan. Persis di tengah-tengah bagian atas pancuran terdapat patung Dewi Mantili, seorang pendekar yang dikenal di zamannya.

Anggapan Mata Air Sumber Urip memiliki khasiat pengobatan, tak lepas dari sejarah ditemukan mata air yang berada di salah satu kaki Gunung Raung tersebut. Menurut Suwarno (35), juru kunci Mata Air Sumber Urip, sejarah sendang tersebut erat kaitannya dengan seorang tokoh besar agama Hindu di Indonesia.

“Kolam ini diyakini salah satu tempat tinggal Resi Markandeya (penyebar agama Hindu di Indonesia), selama menetap sang Resi kerap beraktifitas disitu,” jelasnya saat berbincang dengan Sunriseofjava.com beberapa waktu lalu, di lokasi.

Selain itu, lanjut laki-laki bertubuh sedang ini, khasiat air sendang terbukti memiliki berkah setelah salah seorang tokoh Hindu Banyuwangi, sembuh dari penyakit kronisnya setelah memanfaatkan air Sumber Urip. Terapi itu dilakukan atas petunjuk yang diterimanya saat melakukan semedi.

Pengalaman serupa juga dituturkan Rudi Setiawan (32), seorang pengunjung asal Desa Kandangan, Kecamatan Pesanggaran, saat ditemui di lokasi. Rudi yakin setelah mandi dan meminum air dari Mata air Sumber Urip, penyakit dalam yang dideritanya berangsur membaik.

“Sejak pertama kali saya terapi air di sini, penyakit dalam saya mulai berkurang,” jelasnya tanpa menyebutkan penyakit yang dideritanya.(Hamdani)

http://www.sunriseofjava.com/berita-238-mata-air-sumber-urip-jejak-resi-markandeya-di-banyuwangi.html

6 Jenis Tari Khas Kabupaten Banyuwangi

Pada postingan kali ini kita akan membahas sedikit tentang Tari Banyuwangi. Kenapa sedikit bahasnya? Karena ternyata Banyuwangi memiliki banyak sekali tari-tarian yang terkuno hingga yang terbaru diciptakan. Begitu pula detail dari teri-tarian tersebut, yang pastinya sebenarnya ada banyak cerita-cerita dan makna yang tersimpan dalam tari banyuwangi tersebut.

Berikut beberapa tari banyuwangi yang saya dapatkan dari situs http://bisnis-banyuwangi.blogspot.com :

1. Tari Gandrung
Tari Banyuwangi yang satu ini telah menjadi lambang kota Banyuwangi hingga Banyuwangi sering dipanggil sabagai Kota Gandrung. Tari Gandrung adalah tari perayaan panen yang terinspirasi pada pesona Dewi Sri yang dianggap sebagai Dewi Padi dan Kemakmuran. Pada awalnya tarian ini diperankan oleh para laki-laki yang didandani layaknya para perempuan. Namun kini para penari perempuan yang masih terlihat aktif. Hal ini dikarenakan fatwa para ulama’ yang melarang laki-laki berdandan dan berkelakuan seperti perempuan. Namun yang kini menjadi ikon Kota Banyuwangi adalah Tarian Gandrung wadon atau Tarian Gandrung Wanita.

2. Tari Seblang
Tari seblang merupakan cikal bakal terciptanya tari gandrung. Tari ini masih dilestarikan dua desa di Banyuwangi, yakni Desa Oleh Sari dan Desa Bakungan. Dua desa ini memiliki kesamaan dalam pelaksannanya yakni penari adalah seorang wanita yang ketika menari dimasuki roh halus nenek moyang. Namun dua desa ini juga memiliki beberapa perbedaan dalam detail pelaksanaannya. Desa Oleh Sari memilih penari seorang wanita kecil yang belum akil balig. Sedangkan di Desa Bakungan penarinya adalah wanita yang sudah berumur dan tidak lagi mengalami haid (menopause). Waktu pelaksanaan juga berbeda, jika Desa Oleh Sari melaksanakannya di satu minggu setelah Hari Raya Idul Fitri, maka Desa Bakungan melaksanakannya satu minggu setelah Hari Raya Idul Adha.

3. Tari Erek-erek
Tari Banyuwangi yang satu ini lebih menuju ke arah tata cara pemuda dan pemudi memulai hubungan asmara. Diawali dengan memandang, mengatur pertemuan khusus hingga menuju pada hubungan yang lebih serius.

4. Tari Santri Mulih
Merupakan tari Banyuwangiyang cukup baru hadir di Banyuwangi. Tarian ini diciptakan oleh Bp. Sumitro atau yang biasa dipanggil Kang Mitro pendiri dan pemimpin Sanggar Tari Jingga Putih. Tari ini diciptakan tahun 2008. Sedangkan tema yang diambil adalah kisah para santri pesantren yang menimba ilmu di pesantren dan akhirnya kembali ke rumah dan berbaur kembali dengan masyarakat.

5. Barong Banyuwangi
Tari Banyuwangi yang satu ini biasa dipertunjukkan di acara adat “Barong Ider Bumi” yang diadakan tahunan di Desa Kemiren Banyuwangi. Acara adat tersebut dipercaya dapat menolak balak. Iring-iringan barong itu diarak keliling kampung. Dibelakangnya ada tujuh perempuan tua yang membawa ubo rampe (perkakas ritual) dan lima perempuan pembawa beras kuning dan uang Rp 99.900

6. Tari Puput Bayu
Merupakan Tari Banyuwangi bernuansa perang. Puput Bayu merupakan perang terkejam di Banyuwangi antara para penduduk asli Blambangan dan VOC Belanda. Peperangan ini dikemas dalam sebuah seni tari yang diberi judul “Tari Puput Bayu”.

 
Demikian beberapa Tari Banyuwangi yang bisa di kita bahas kali ini. Semoga bermanfaat.

Sumber:

Banyuwangi Hormati Erotisme Gandrung

Salam Jenggirat Tangi…

Selamat Datang Di Padepokan Mas Say Laros…

Oleh Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Tari Gandrung mungkin sudah identik dengan kawasan ujung timur pulau Jawa, khususnya Banyuwangi. Namun jika ditelusuri, seni pentas yang digolongkan sebagai tari pergaulan ini sebenarnya juga dapat dijumpai di pulau Lombok dan Bali. Keberadaaan kesenian ini di tengah budaya Jawa Timur, Bali, dan Sasak, hadir dengan kekhasan dan keunikannya masing-masing. Hanya, jika di Banyuwangi tari Gandrung hingga kini masih bergelinjang mesra dan di Lombok tetap berlenggok riang, di Bali kesenian ini hampir punah.

Seni pertunjukan sejenis Gandrung banyak dijumpai di Nusantara. Kesenian ini masih satu genre dengan Ketuktilu di Jawa Barat, Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger di wilayah Banyumas dan Joged Bumbung di Bali, dengan melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik (gamelan). Penampilannya senantiasa disertai unsur-unsur erotisme seperti tampak dalam tari Ronggeng di Jawa Barat dan juga Joged Bumbung di Bali.

Dalam bahasa Jawa, ’gandrung’ berarti ‘tergila-gila’ atau ‘cinta habis-habisan’. Pada masa lalu, penari Gandrung memang banyak mengundang debur asmara kaum pria, padahal para penari Gandrung itu sendiri adalah laki-laki. Di Banyuwangi kesenian Gandrung pada awalnya dilakoni oleh kaum pria, setidaknya hingga tahun 1890-an. Baru pada tahun 1914 penari wanita dihadirkan setelah kematian penari pria terakhir, Marsam. Gandrung wanita pertama Banyuwangi bernama Semi, seorang gadis kecil yang sakitsakitan yang berkaul jika sembuh akan menjadi penari Gandrung.

Berbeda dengan di Banyuwangi, di Bali hingga kini tari Gandrung masih dibawakan penari laki-laki. Salah satu grup seni pertunjukan Gandrung yang masih bertahan adalah Sekaa Gandrung Banjar Ketapian Kelod, Denpasar, masih mempertahankan penari pria. Kesenian Gandrung yang disakralkan oleh komunitasnya itu lebih menampilkan diri sebagai presentasi estetik. Melalui iringan musik bambu yang disebut gandrangan, Gandrung Bali menyuguhkan raga keindahan tari yang lazim dijumpai dalam tari klasik Legong Keraton.

Seperti di Banyuwangi, diduga kuat tari Gandrung di Lombok pada awalnya juga dibawakan oleh kaum pria. Gandrung Lombok yang kini lazim dibawakan kaum wanita itu masih eksis sebagai sajian profan, menampakkan karakter Bali dan Banyuwangi. Nuansa Bali tampak kental pada tata tarinya yang sebagaian besar memakai perbendaharaan gerak tari tradisional Bali. Unsur Banyuwangi dihadirkan dalam balutan busananya khususnya pada gelungan atau tutup kepalanya. Struktur penyajian Gandrung Lombok adalah bapangan, tangis, penepekan, dan pengibingan. Pada bagian pengibingan, penonton pria masuk ke arena pentas berpasangan dengan sang penari.

Urut-urutan penampilan Gandrung Lombok tersebut hampir sama dengan tari Joged Bumbung di Bali dimana bagian terakhir, pengibingan, yang paling ditunggu-tunggu partisipan pria dan penonton pada umumnya. Interaksi fisik antara penari Gandrung dengan partisipan pria juga menjadi bagian utama pementasan Gandrung Banyuwangi. Struktur penyajian konvensional Gandrung Banyuwangi memang diurut menjadi tiga yaitu jejer, maju, dan seblang subuh. Jejer adalah bagian yang merupakan pembuka seluruh pertunjukan Gandrung dimana penari menyanyikan beberapa lagu dan menari secara solo. Para tamu yang umumnya laki-laki hanya menyaksikan dengan tenang. Maju atau ngibing adalah bagian terheboh yang berlangsung hingga larut malam bahkan sampai menjelang subuh. Dalam perkembangannya belakangan, bagian seblang subuh yang merupakan semacam ritual magis sering tak ditampilkan.

Maju atau ngibing ditandai oleh sang penari dengan memberikan selendangselendang yang diberikan kepada tamu. Biasanya, tamu-tamu atau undangan penting yang terlebih dahulu mendapat kesempatan menari bersama-sama. Sang gandrung akan mendatangi para tamu yang menari dengannya satu persatu dengan gerakan-gerakan yang menggoda, mengundang hawa nafsu. Seusai menari dengan tamu-tamu kehormatan, si penari akan menyambangi penonton lainnya, dan meminta salah satu penonton untuk memilihkan lagu yang akan dibawakan. Acara ini diselang-seling antara maju dan repèn (nyanyian yang tidak ditarikan), dan berlangsung sepanjang malam. Pementasan Gandrung Banyuwangi kadang-kadang disertai ribut-ribut diantara para penonton saat menunggu giliran ngibing.

Popularitas dan eksistensi Gandrung di Banyuwangi dapat disejajarkan dengan Joged Bumbung di Bali. Tari Joged yang merupakan perkembangan dari Gandrung Bali itu hingga kini masih digandrungi dan begitu merakyat di Bali. Riuh dan semarak dengan sorak-sorai adalah suasana yang menjadi ciri pertunjukan Joged. Tapi dalam kegembiraan yang meluap, tak jarang pementasan Joged Bumbung menjadi kisruh. Misalnya bila seorang penari harus berhadapan dengan pengibing vulgar dan brutal yang tak peduli dengan kesopanan. Secara etno-estetik, tari Gandrung Banyuwangi, Gandrung Lombok, dan Gandrung Bali yang kini bertranformasi menjadi Joged Bumbung adalah ekspresi seni yang patut diapresiasi secara santun. Atmosfer sosiokultural masyarakat Banyuwangi telah menempatkan tari Gandrung sebagai nilai seni dan budaya Nusantara yang sepantaskan dikawal kehormatannya.

Kadek Suartaya