Geredhoan,Cara Perjodohan Unik Suku Using Banyuwangi

Using adalah warga yang menetap di wilayah Blambangan Lama, di ujung tenggara Jawa Timur. Persisnya di daerah Banyuwangi, Jember, Lumajang, dan Bondowoso. Blambangan Lama dikenal sebagai kantong budaya Using, subkultur Jawa yang agak berbau Hinduistis lantaran dekat dengan Pulau Bali.

Pada masyarakat Using dikenal tradisi geredhoan. Geredho berarti goda. Jadi kata itu bisa ditafsirkan saling menggoda atau bercengkrama yang berbau cinta. Selagi geredho, si pemuda dan pemudi bisa saling intip, saling lirik, saling kenal, untuk menyelami hati masing-masing. Jika seerr di hati, bisa diteruskan ke pelaminan.
Tak diketahui secara pasti sejak kapan mencari jodoh gaya desa ini muncul. Tapi, menurut Sudibyo Aris, Sekretaris Dewan Kesenian Blambangan (DKB), lembaga tempat berhimpun seniman yang peduli terhadap budaya Using, tradisi itu muncul sekitar 1950-an, atau jauh sebelumnya memang sudah membudaya.
Tradisi ini semula meluas di pedalaman Banyuwangi. Misalnya di Kecamatan Giri (Desa Boyolangu dan Penataban), Kecamatan Glagah (Desa Banjarsari, Glagah, Bakungan, Keniten, dan Mojopanggang), Kecamatan Kabat, Rogojampi, Singonjuruh, Songgon, dan Dadapan. Tapi belakangan, geredhoan tersisa di sebagian desa di Kabat, Dadapan, dan Rogojampi.
Geredhoan dilakukan setahun sekali pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada 12 Rabiulawal. Di Rogojampi, acara geredhoan dikoordinasikan dengan rapi dan ada panitianya. Semua aktivitas dipul di satu tempat. Untuk menyukseskan acara ini, tiap-tiap rumah tangga dikasih tugas khusus. Misalnya ada yang menyediakan tepung, beras, gula, dan bahan lain untuk selamatan.
Bahan-bahan makanan itu dikumpulkan di sebuah rumah gedek (berdinding bambu) di dekat masjid. Selepas magrib, para orangtua dan muda-mudi berkumpul untuk mendengarkan ceramah keagamaan Maulid Nabi. Salawat dan puji-pujian terhadap Nabi juga didengungkan di situ.
Malam itu pula, para ibu dan gadis begadang membuat kue dan nasi selamatan dalam rumah gedek tadi. Anak-anak gadis itu mendatangi rumah gedek dengan sedikit dipaksa oleh ibu atau tante mereka. Maklum, anak perawan kan masih malu-malu tapi sesungguhnya mau juga. Biar cepat mendapat jodoh, ujar seorang ibu.
Dan para lanceng (jejaka) bertugas membuat peralatan dan hiasan-hiasan upacara di luar rumah. Sembari kerja itulah para lanceng mengintip kesibukan para gadis lewat lubang gedek. Naksir si Cempluk, si Lencir, atau si Cipluk, silakan saja. Jika oke, ya lanjutkan saja dengan ngobrol. Bisa jadi, mereka sudah saling mengetahui, tapi tidak saling mengenal, kata Sudibyo, 60 tahun.
Jika ada tugas mengambil air dari luar rumah, para lanceng bersemangat dikasih tugas. Soalnya, saat mereka membawa air masuk ke rumah, berarti bisa melirik siapa di antara para gadis yang berkenan di hati. Makin malam atau menjelang dini hari, acara geredhoan makin asyik. Maklum, pada tahap itu komunikasi sudah menjurus ke arah yang lebih serius.
Keseriusan ini ditandai begini: si perjaka memasukkan batang lidi janur lewat lubang gedek. Jika lidi dipatahkan ujungnya, itu pertanda cinta ditolak. Tidak usah sakit hati. Jika ujung batang lidi dibentuk mirip bulatan kecil (lidi dibuat mirip daun waru lambang cinta kan sulit), artinya tidak bertepuk sebelah tangan. Duh, hati pasangan ini makin mekar.
Maka, ketika hati berbunga-bunga itu, mereka berdua pun berdialog dalam bentuk wangsalan dan basanan (pantun dan ungkapan). Rasa kantuk pun ditanggung lenyap. Para ibu gadis-
gadis itu membiarkan saja gadis-gadisnya terhanyut dalam buaian asmara di awang-awang. Maklum, keberadaan dua sejoli ini dipisahkan dinding gedek.

Esoknya, masakan berupa nasi, ikan, dan kue-kue khas, seperti nogosari (nagasari), onde-onde, pisang goreng, lemper, bikang, dan endok-endokan (berupa telur ditusuk kayak sate), ditempatkan pada ancak, sebuah tempat berbentuk empat segi panjang dari bambu. Di bagian tengah ancak ditaruh batang pisang untuk menancapkan telur bertusuk sejumlah 99. Mengapa? Tidak ada yang tahu.
Yang pasti, ujung telur-telur itu dihiasi dengan kertas dan plastik. Elok. Para lanceng itulah yang mengusung ancak untuk diarak menuju masjid. Sesampai di masjid, telur-telur itu dibagikan kepada anak-anak. Makanan dan kue disantap bersama setelah melantunkan salawat dan puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW.
Geredhoan di Desa Gitik, Kecamatan Kabat, lain pula. Acara itu cukup dilakukan di rumah masing-masing, semampunya. Dilakukan tidak tepat pada 12 Rabiulawal, bisa sebelum atau sesudahnya. Tapi harus dalam bulan Rabiulawal. Di rumah-rumah yang sedang mengadakan geredhoan, pintunya terbuka lebar. Yang merasa dirinya perjaka, silakan masuk untuk berkenalan, melihat, saling memandang, dan naksir.
Biasanya para lanceng datang berkelompok 3-4 orang. Kalau malu- malu, ya cukup memanggil-manggil nama si gadis yang lagi mejeng di ruang depan. Bentuk lain adalah saling melempar kertas bertuliskan nada-nada cinta. Jika ternyata mereka berdua cocok, pertemuan bisa dilanjutkan pada hari-hari berikutnya.
Tapi jalan menuju pelaminan tidak selalu mulus. Bisa saja orangtua si gadis tidak setuju. Putus? Tidak. Ada cara lain, yaitu kawin nyolong atau kawin lari. Walau kawin nyolong, cara itu tetap positif sebab untuk dinikahi secara resmi. Dan sepanjang yang diketahui Sutedja Hadi, pengurus Dewan Kesenian Blambangan (bagian musik), tidak ada pasangan kawin nyolong yang bercerai.
Tiga tahun lalu anak gadis Sutedja pernah juga dicolong calon menantunya. Awalnya bapak si gadis biasanya secara mati-matian mempertahankan anaknya. Tapi akhirnya orangtua itu pun luluh, ujar Sutedja. Ia juga begitu. Dalam tradisi Using dikenal budaya: Selama janur masih belum melengkung, masih ada kesempatan pihak lain untuk memperistri.
Pasangan Ibrahim-Masroah adalah contoh kawin nyolong. Masroah adalah kembang desa di Dusun Pendalungan, Kecamatan Kabat. Waktu itu, 28 tahun lampau, keluarga Haji Juraimi, ayah Masroah, bikin geredhoan. Pemuda Ibrahim yang berusia 20 tahun, bersama teman-temannya, naik sepeda sejauh 3 km menuju Dusun Pendalungan. Singkat cerita, Ibrahim kepincut Masroah. Ya, cintalah. Ngomong sana-sini, tapi belum menjurus, kata Ibrahim. Dari malam hingga dini hari, mereka ngobrol. Kami bisa saling mengenal, saling menggoda, katanya, sembari mengenang masa lampau. Ya, senang sekali berpasangan seperti itu, Masroah menimpali, sembari tersenyum malu.
Esoknya Ibrahim nongol lagi. Masroah menyambut cintanya, dan siap diajak membina rumah tangga. Stop dulu! Haji Juraimi tidak setuju. Tiga hari kemudian Masroah dibawa lari oleh Ibrahim. Upaya ini didukung kerabat dan kakak perempuan Masroah. Waktu itu saya deg-degan juga. Sebab, kabarnya, Haji Juraimi orang sakti dan pintar silat. Makanya saya tidak lupa minta tolong orang pintar (maksudnya dukun), katanya.
Setelah Masroah di tangan, Ibrahim mengirim utusan ke rumah Haji Juraimi untuk mengabarkan kondisi anak gadis itu. Dibantu dengan lobi modin di desa maka hati Haji Juraimi menjadi luluh. Empat hari setelah geredhoan, Ibrahim-Masroah naik ke pelaminan. Ternyata cinta kilat mereka tidak luntur hingga kini. Perjalanan rumah tangga kami damai, tidak pernah cekcok, kata Ibrahim, tukang kayu yang telah dikaruniai 10 cucu.
Memang banyak pasangan geredhoan yang langgeng hingga kaki-kaki dan nini-nini. Tapi, karena perkembangan zaman, tidak mustahil tradisi geredhoan bisa luntur, lalu lenyap. Itu karena ruang gerak para gadis di Banyuwangi tidak lagi hanya sebatas pekarangan. Kemajuan pendidikan telah menggeser pergaulan dan cara berpikir mereka.
Selain itu, rumah-rumah gedek juga makin langka dari bumi Blambangan. Kemakmuran telah menggeser geredhoan. Apa perlu dilestarikan? Apa kita akan nggondeli tradisi yang sudah tidak dianut masyarakat itu? tanya Sudibyo.

JANGAN LUPA DI SUBSCRIBE DAN DI FOLLOW YA GAESS Youtube : Mas Say Laros Banyuwangi Instagram : @massaylaros Facebook : Mas Say Laros Banyuwangi