Biografi Temuk Misti (Gandrung Temu),Sang Maestro Gandrung Banyuwangi

Sabtu,29 September 2012

Salam Jenggirat Tangi…

Selamat Datang Di Padepokan Mas Say Laros

                  KetikakitaBerbicara seni dan budaya kabupaten banyuwangi kita tidak akan pernah terlepas dengan salah satu icon bumi blambangan ini,apalagi kalau bukan Tari Gandrung Banyuwangi yang sudah melegenda ini. Sebagai anak keluarga seniman Mas Say Laros sejak masih TK sudah dikenalkan dengan berbagai jenis tari khas bumi blambangan ini mulai jejer gandrung, tari jaran goyang, jejer jaran dawuk dsb. Jadi seni budaya banyuwangi seakan-akan sudah mendarah daging dalam tubuh mas say laros. Meskipun kadang-kadang ini semua juga sering kontra dengan keluarga dari ibu yang memegang ajaran islam sangat ketat dan anti budaya lokal.

                  Dari kesekian penari tari gandrung yang masih eksis di banyuwangi ada seseorang yang bisa dibilang maestronya atau legendanya tari gandrung banyuwangi , Masyarakat banyuwangi biasa mengenal dengan sebutan Gandrung Temuk atau Mbok Temu. Masyarakat banyuwangi telah lama mengenal sosok yang bersahaja ini apalagi kaset-kaset VCD gandrung banyuwangi saat ini didominasi oleh suara khas sang maestro ini.

                  Mungkin mas say laros menganggap suatu hal yang wajar jika gandrung temuk ini kita jadikan sebagai Legendanya Tari Gandrung banyuwangi karena memang pengabdian beliau sudah lebih dari 45 tahun untuk mempertahankan seni tari gandrung banyuwangi.

                   Maestro yang berumur 57 tahun ini menari gandrung sejak masih umur 15 tahun (1969 tahun silam). Beliau menyanyi dan menari dari malam hingga pagi hari seakan-akan tidak mengenal lelah sedikitpun.

Entah karena bakat alam atau faktor lain, Temuk dengan cepat menguasai tarian asli Banyuwangi tersebut. Bahkan tiga tahun berselang, karirnya sebagai penari gandrung semakin melesat. “Ngetop-ngetopnya saya ya pada tahun 1972 itu,” paparnya. Kini usia Temuk sudah 57 tahun. Meski sudah tua, dia tetap eksis manggung di pentas seni tradisional. Bahkan pada tanggal 16 Juni mendatang, dia masih dipercaya menjadi penari gandrung di acara hajatan yang digelar warga Wonosari, Kecamatan Glagah.

Kecintaan Temuk terhadap Tari Gandrung memang tidak perlu diragukan. Demi regenerasi, dia kerap kali melatih anak-anak muda menari Gandrung. Beberapa bulan yang lalu, dia juga dipercaya oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi untuk melatih 24 remaja menari gandrung. “Saya berkewajiban melestarikan tarian asli Banyuwangi ini,” terangnya. Upaya Temuk ternyata tidak sia-sia. Setidaknya, satu dari 24 muridnya itu kini menjadi penari gandrung profesional.

Hidayati –nama murid Temuk tersebut lantas bergabung dalam grup Sopo Ngiro bersama sang guru. Sebagai seniman panggung, Temuk tentu tidak bisa seratus persen mengandalkan penghasilan dari upah manggung. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Temuk memilih bertani. “Alhamdulillah saya punya sawah walaupun luasnya tidak sampai setengah hektare (ha). Hasilnya bisa untuk menyambung hidup,” katanya.

Tidak hanya itu, karena hasil panen tidak mampu digunakan menutup seluruh kebutuhan hidupnya, Temuk juga beternak ayam kampung. Ironisnya, akhir bulan April yang lalu, ratusan ayam ternak miliknya mendadak mati. Modal sebesar Rp 2 juta pun melayang. “Padahal pagi ayam-ayam itu sehat. Eh sore hari kok tiba-tiba mati semua. Kemungkinan kena flu burung,” katanya.

Gandrung merupakan salah satu kesenian khas dari Banyuwangi yang mempunyai satu sisi seperti tarian Tayub yang terkenal di Jawa Tengah. Ada beberapa penari perempuan dengan pakaian khas yang akan menari dan menyanyi diringi dengan 5 sampai 7 penabuh gending laki-laki. Mereka juga akan menari bersama-sama para tamu dan juga ada tradisi “nyawer” di antarapenari Gandrung dan para tamu. Gandrung biasanya tampil di hajatan seperti sunatan dan perkawinan. Biasanya dimulai jam 9 malam hingga menjelang Shubuh.

Sebagai seorang maestro Ia mengawali karir di kelompok kesenian Gandrung Sopo Ngiro yang dirintis sejak tahun 1980-an. Dia lahir di Dusun Kedaleman Desa Kemiren yang terkenal sebagai basis seni Banyuwangi. Sejak kecil ia sudah sangat mencintai dunia Gandrung walaupun orang tuanya sangat menentang keinginan Temu. Semasa kecil, anak tunggal Mustari dan Supiah ini sakit-sakitan. Hampir putus asa keluarganya membawa Temu berobat ke dukun. Suatu hari sepulang berobat ke dukun, ibunya mampir ke salah seorang seniman gandrung, Mbah Ti’ah. Di sana, Temu meminta makan. “Saya makan dengan lahap,” kata Temu. Si empu gandrung lantas berpesan: “Jadikan dia gandrung kalau besar nanti,”

Akhirnya Temu menari dari satu tanggapan ke tanggapan lainnya. Dia mempertahankan pakem gandrung ditengah bermunculannya penari gandrung lain yang identik sebagai hiburan para pemabuk. Perempuan yang tak lulus sekolah rakyat ini ingin menunjukkan kalau gandrung bukan kesenian murahan. Selain tubuh gemulai, Temu dianugerahi suara emas yang tidak dimiliki gandrung lain. Melengking tinggi dengan cengkok using khas. Selain menari, ia biasa menjadi sinden gandrung dalam setiap pagelaran. Ia juga satu-satunya yang mampu mengkolaborasikan suara gending gandrung dengan lagu Banyuwangi modern. Para peneliti, menyebut suara gandrung Temu, adalah sebuah eksotisme timur.

Suara Temu dianggap komersil sehingga di tahun 1970-an dia masuk dapur rekaman. Album pertamanya adalah lagu-lagu yang dibawakan saat pementasan Gandrung. Saat itu, albumnya dijual seharga Rp. 75. Tahun 1980, suara emas Temu direkam Smithsonian Folkways, Amerika Serikat, milik Philip Yampolsky. Dalam album Songs Before Dawn yang dirilis 1991, Temu menyanyi sebelas lagu gandrung, antara lain, delimoan, Chandra dewi, dan seblang lukinto. Bertahun-tahun, rupanya Temu tak pernah tahu kalau album itu dijual di sejumlah situs bisnis di Amerika dan Eropa. Di situs Amazone.com, misalnya, CD Songs Before Dawn dijual seharga 16,98 US Amerika. Yang Temu tahu, kalau saat itu suaranya direkam untuk kegiatan penelitian kebudayaan Indonesia. Ia dibayar Rp 250 ribu, tanpa sebuah surat kontrak.

Temu baru mengetahui sekitar tahun 2007 dari Farida Indriastuti, kontributor lepas kantor berita Italia yang melakukan penelitian tentang multikulturalisme. Konon kabarnya, album Temu itu mencetak penjualan miliyaran rupiah. Namun penghargaan kepada Temu, tak lebih dari sebuah figura berbingkai kayu coklat polos, berisi sampul album Songs Before Dawn. Figura itu dipajang Temu di dinding rumahnya. Temu mengaku bangga dan kecewa setiap melihat figura yang harganya tak lebih dari lima ribu rupiah.  (www.tempointeraktif.com)

Bahkan ada salah seorang yang “pernah” memanfaatkan suara eksotik Temu. Namanya sangat terpandang bukan hanya di lokal Banyuwangi tapi juga dikalangan nasinal dan Internasioanal. Dimana-mana di elu-elukan banyak orang dan mendapat tempat duduk yang layak di ruang VIP. Tapi dia lupa, bahwa dia besar dari seorang Temu. Perempuan Gandrung yang semakin terpinggirkan dan bahkan tetap hidup melarat dan menjanda di usia senjanya. Namun meskipun pengalaman beliau begitu pahit dia hanya mengatakan, “Kang Kuoso hang mbales. isun byaen heng ngamuk, apuwo riko hang muring. Ojo pati wangkot, ” (Tuhan yang akan membalasnya, saya saja tidak marah, keanpa kamu yang uring-uringan. Jangan keras kepala)

Saat ini Mbok Temu masih aktif menyanyi, lagu-lagunya lebih modern. Salah satu single hits yang meledak di pasaran berjudul Ojo Cilik Ati. Upah rekaman tidak dihitung berdasarkan royalti atau banyaknya kaset yang laku. Melainkan dihitung per paket, antara Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per lagu. Tanpa ada surat kontrak . Sebagai seniman tradisional, Temu tak pernah pernah menggugat dengan urusan hak cipta intelektual atau tetek bengeknya. Saat menjadi gandrung, bayaran satu kelompok memang besar, yakni Rp 2 juta. Tapi setelah dibagi-bagi dengan lima penabuh, dan seorang tukang rias, bersih ia hanya terima Rp 250 ribu. Karena itu ia tak pernah protes dengan upahnya rekaman.

 Mbok Temu tidak akan mundur dari dunia Gandrung selama ia masih kuat menari dan menyanyi. Ia ingin sekali ada generasi baru yang meneruskan tradisi Gandrung dengan pakem-pakemnya. Pada tahun 1995 ia sempat melatih 10 anak gadis di desanya tapi semua gagal, karena susah mencari pengganti yang mau menari karena benar-benar mencintai Gandrung.

Sungguh Temu gundah, sebagai janda tanpa anak. Tubuhnya kian tua, sering kali pegal di bagian sendi dan punggungnya, biarpun masih bertenaga. “Tapi suara Temu tak sekuat dulu,” kata Basuki suatu hari dari balik panggung. Di Kemiren ia hanya mengasuh cucu keponakan (yang memiliki kekurangan fisik “bisu”) dan merawat kakak ibunya yang sudah teramat tua. Siapa yang kelak diharapkan Temu bila tubuhnya tak sintal dan tulangnya rapuh di gerogoti usia? Belum tentu 10 tahun ke depan Temu masih kuat melenggok, mengibaskan sampurnya di atas panggung.

Gandrung adalah napas hidup Temu. Ia telah berjanji tak akan meninggalkan panggung gandrung, kecuali tubuhnya tak mampu digerakkan lagi. Temu, perempuan santun yang mampu menahan urat marahnya, secara sukarela (tanpa diupah) tetap mengajari anak-anak di kedua desa, Kemiren dan Olehsari, menari juga menyanyi.

Sang maestro ini adalah seorang yang penuh konsisten dalam mempertahankan seni tradisi.Seperti yang dikatakan gandrung cilik bernama Wulan (14), “Kalau kita ikut gandrung, sama Mbok Temu dikasih Rp 75.000.” Santi (13) menimpali, “Kata Mbok Temu, kalau menari diingat-ingat gimana urutannya.” Hidup Temu adalah loyalitas dan pengabdian terhadap seni tradisi. Ia selalu membagi rata setiap rezeki yang diterima dengan panjaknya (pun) dengan rasa syukur. Seperti yang diajarkan (alm) Anwar, seniornya di pentas gandrung

Memang kita yakini jika Mbok Temu benar-benar seorang Maestro sejati. Bukan hanya dari kemampuannya menari, menyanyi tapi sebagai keikhlasannya menghargai sebuah seni dan tradisi tanpa pernah dinilai dengan materi.

Sumber Informasi :

http://duniaira.blogspot.com

http://www.desantara.org

http://www.kabarbanyuwangi.com

 

 

 

 

Kisah Pahit Perjalanan Hidup Temuk Misti,Sang Maestro Gandrung Banyuwangi

Jumat,28 September 2012

Salam Jenggirat Tangi

Selamat Datang Di Padepokan Mas Say Laros

Tarian Kehidupan Gandrung Temu

Tarian Gandrung Temu adalah tarian kehidupan. Setiap geraknya adalah riwayat. Panggungnya keseharian, di mana musim panen dan paceklik adalah dua musim yang satu dan garisnya abu-abu.Temu Mesti adalah penari Gandrung terkemuka di Banyuwangi, Jawa Timur. Meski usianya 53 tahun, posisinya dalam kesenian tradisional Banyuwangi itu belum tergeser oleh para penari muda. Tinggi badannya sekitar 170 cm, berperawakan sedang. Suaranya yang melengking jernih masih belum tertandingi.

Namun, seperti banyak seniman tradisional, hidupnya jauh dari gemerlap. Rumahnya di Dusun Kedaleman, Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, berukuran 7 x 12 meter persegi, dengan perabotan apa adanya. Itulah hasil keringatnya selama lebih dari 35 tahun menari Gandrung.

Pada masa jayanya, ia hanya sempat tidur di rumah tiga-empat hari dalam sebulan. Sekarang, pesanan pentas sekali seminggu saja sudah sangat bagus. “Banyak tontonan yang bisa dipilih orang hajatan dengan honor bersaing, seperti dangdut,” kata Temu.

Setiap pentas ia dan kelompoknya menerima Rp 1,5 juta. Setelah dibagi-bagi, ia mendapat honor bersih Rp 250.000. “Dulu penarinya cuma satu. Jadi honornya untuk sendiri,” katanya. Mulai tahun 1995-an ada tiga-empat gandrung yang menari.

Temu ditemui suatu petang setelah kampanye pemilihan kepala desa. Suaranya yang mengalun lewat pengeras suara dari truk yang berjalan mengelilingi desa masih terngiang. Temu duduk di bawah dengan pakaian sehari-hari, tersembunyi di antara sosok lima penari Gandrung muda yang berdiri di badan truk mengumbar senyum. Kerja dua jam pesanan dari salah satu calon kepala desa itu honornya Rp 60.000. “Lumayan,” ucapnya.

Kata “lumayan” itu bukan basa-basi. Setiap rupiah adalah nafas, terutama menjelang bulan-bulan sepi pesanan, dan ia harus membuat rempeyek teri, kedelai, dan kacang tanah untuk menyambung hidup. “Bulan puasa, Maulud dan Suro, enggak ada orang hajatan di sini,” lanjut Temu.

Pelanggaran

Bagi Temu, hidup adalah berkesenian. Gandrung membuatnya menggandrungi hidup, seberat apa pun jalannya. Kibasan sampur Gandrung seperti mengibaskan ketaktertanggungan masalah. Karena itu, meski menyandarkan hidup pada Gandrung, uang bukan segalanya. Seperti paradoks. Ia mempertaruhkan hidupnya di situ, sekaligus tak kenal kompetisi: Gandrung lebih penting ketimbang dirinya.

Sikap itu tanpa disadari menjadikannya “mangsa” bisnis kesenian dan kebudayaan yang jaring-jaringnya melampaui batas desa, bahkan wilayah negara. Temu, yang tidak pernah menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat itu, tidak tahu bahwa ia tergulung ke dalam gelombang pasar bebas, di mana multikulturalisme dimaknai tak lebih sebagai komoditi, minus penghargaan pada hak kekayaan intelektual. Suatu pelanggaran yang banal.

Suara Temu menjadi bagian eksotisme “Timur” yang terus direproduksi dan secara bisnis memberikan keuntungan besar.

Farida Indriastuti, kontributor lepas kantor berita Italia yang melakukan penelitian tentang multikulturalisme—diselenggarakan oleh Srinthil, majalah perempuan multikultural—menemukan, CD Temu “Songs Before Dawn” (Lagu Menjelang Fajar) dijual di AS antara 15 dollar-18 dollar AS, di Eropa sekitar 20 euro per keping.

Nilai jualnya di satu online lebih dari 12.000 keping. Padahal lebih dari 10 online menjual reproduksi suaranya. Pertengahan Juli 1992, Amazon.com AS mencatat penjualan “Songs Before Dawn” sebanyak 284.999 copy dalam 24 jam. Foto Temu menari ditaruh di sampul belakang CD, sementara sampul depannya berhias penari Gandrung lain dari Banyuwangi. Hak ciptanya dipegang suatu lembaga pendidikan terkemuka di AS. Nama Temu tak disebut sama sekali di situ.

Temu hanya tahu pernah ada orang asing yang merekam gambar dan suaranya, katanya, untuk proyek kebudayaan Indonesia. Lama rekamannya 10 jam, dengan upah Rp 60.000 atau Rp 6.000 per jam, dan Rp 25.000 per orang atau Rp 2.500 per jam untuk enam panjak (nayaga). Katanya, rekaman itu bukan untuk keperluan komersial.

Di tingkat lokal pun sama saja. Suara emasnya sudah menghasilkan enam album Gandrung dan satu album versi Jaipong untuk karaoke. Honornya dihitung per paket, antara Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta, tak tergantung berapa keping CD atau kaset yang terjual. Menurut penyelidikan Farida, VCD Temu pernah terjual 10.000 keping sehari.

Pada 1999 Temu dihubungi pejabat setempat untuk pentas ke Jakarta, tetapi lalu diganti orang lain, tanpa pemberitahuan. Karena itu, ia menolak ketika ditawari berangkat ke Kalimantan Timur beberapa waktu lalu.

Suatu hari, seorang pejabat memberi tahu, Temu mendapat penghargaan internasional. Ternyata penghargaan itu dari Dinas Pariwisata bekerja sama dengan Pendidikan Seni Nusantara (PNN). Gambar dari sertifikat “internasional” itu dibingkai kayu murahan berupa fotokopi sampul rekaman VCD dari proyek kesenian rakyat lembaga filantrofi internasional yang merekam suara dan tarian Temu bertahun-tahun lalu itu.

“Lha saya bisa apa?” itu jawabnya ketika ditanya bagaimana ia menyikapi semua itu. “Saya kembalikan saja pada Yang Punya Hidup.”

Sejak tahun 1980 Temu hidup sendiri. “Malas nggodok wedang. Capek,” katanya.

Dua perkawinannya gagal, tanpa anak. Sekarang ia mengasuh cucu keponakan dan merawat kakak ibunya “Enak sih punya suami. Tapi daripada sakit gigi, he-he-he….”

Jalan Hidup

Sejarah hidup Temu sebagai penari Gandrung kental diwarnai tradisi. Waktu kecil, ceritanya, ia sakit-sakitan, tak mau makan. Orangtua membawanya kepada seorang dukun bernama Mbah Kar untuk di-suwuk.

Sepulang dari situ, Temu kecil tiba-tiba minta makan. Ibunya membawa dia ke rumah juragan Gandrung bernama Mbah Ti’ah. Di situ Temu makan sangat lahap. Lalu Mbah Ti’ah mengatakan, “Jadikan dia gandrung kalau sudah besar.”

Sejak itu, Temu kecil mulai suka menari. Darah seni sebenarnya mengalir dari garis ayahnya. Sang ayah adalah penari ludruk. Kakeknya ahli mocoan lontar. Meski awalnya tak mau jadi penari Gandrung, Temu mulai naik pentas pada usia 15 tahun. Tahun 1969 itu penari Gandrung perempuan berada di puncak kejayaan. Gandrung Banyuwangi didominasi penari laki-laki sampai tahun 1950-an.

“Mula-mula takut,” kenangnya.

Tak lebih dari setahun, Temu menapak jenjang sri panggung. Honornya jauh di atas penari-penari seniornya. Lirik lagu ciptaannya mengena dan sering menohok persoalan yang dihadapi penonton.

Temu mengaku tak pernah baca mantra sebelum pentas. “Kalau pakai itu, cuma bertahan sebentar,” katanya. Untuk menjaga kualitas suara, ia tak makan pedas dan gorengan, dan mempertahankan syarat utama: menahan kencing semalaman atau sekitar sembilan jam!

Seandainya dilahirkan kembali, apakah ia mau meniti jalan yang sama, sebagai penari Gandrung? Jawab Temu, “Saya mau tidur pada waktunya orang tidur. Bukan teriak-teriak nyanyi dan pencilatan menari….”

Sumber :

UDAY Abdurrahman

Maria Hartiningsih