Fenomena Selfie dan Pandangan Islam

itu cewek-cewek selfie sambil dimonyong-monyongin siapa sih yang ngajarin? (-_-); | bener-bener musibah..

wajah di kiyut-kiyutin, di unyu-unyuin, artis wannabe kali ya? | di-publish lagi, yeuh.. (-_-); stop it already..

cewek-cewek pikir selfie berlebih itu buat dirinya menarik? | mungkin iya, tapi bukan menarik untuk dijadiin istri (-_-);

bayangin aja udah jadi istri lalu selfie monyong-monyongan, di imut-imutin dan kiyut-kiyutin | bisa stres suaminya deh.. (-_-);

Islam justru ajarin Muslimah jangan seneng diperhatikan, dilihat orang lain | ini malah selfie nggak jelas… (-_-);

diperintah jelas menundukkan pandangan, agar kita dan orang pun terjaga | cewek sekarang modelnya malah “demen menggoda” (-_-);

mati-matian pengen dibilang cantik, tewas-tewasan cari perhatian | kayaknya desperate banget demi manusia.. (-_-);

asal tau aja, lelaki normal males kalo istrinya diperhatiin orang lain | risih kalo istrinya diliatin orang lain, nggak rela.. (-_-);

begitulah rasa malu jadi salah satu penghias terbaik bagi Muslimah | karena malu itu cabang keimanan, nggak rugi yang punya malu.. (-_-);

begitu pula hakikat hijab yang diperintahkan Allah | justru supaya Muslimah nggak diperhatikan, bukan malah jadi hiasan.. (-_-);

bila berhijab ingin tampil cantik menarik, niatnya perlu dibenahi | bila berfoto sebab ingin diperhatikan, niatnya perlu dibenahi (-_-);

selama rasa ingin eksis “ini loh gue!” masih tinggi, sulit hati merendah di hadapan Allah | maka sulitlah merasa manisnya iman (-_-)’;

jangan berlebihan, selfie-mu untuk goda suamimu aja, berpahala | jangan sampai malah jadi fitnah dan malah jadi sebab dosa.. (-_-);

yang belum nikah, tahan untuk berlebih-lebihan dalam berfoto | karena bagi lelaki baik, bukan itu yang dia lihat, itu tidak dia perlukan..

carilah perhatian Allah dengan meningkatkan keimanan | dan cabang iman yang penting bagi Muslimah, itulah rasa malu

From : Ustad Felix

Ulama sing KACANG KADAL: KAKEAN CANGKEM KAKEAN DALIL

suatu ketika sekelompok orang yang mengatakan diri mereka ulama’ mendatangi Embah Munir. berbagai dalil dan petuah dilantunkan, cemooh dan cercaan dihembuskan, mereka marah, mereka geram, mereka mangkel dengan Embah Munir, dalam percakapan tersebut
ulama’ : apa Gus Munir telah mengijinkan para jama’ah mendatangi gereja untuk mengambil sembako gratis?” (tanya ‘Ulama’)
Embah : enggeh yai!. (jawab Embah)
ulama’ : kenapa harus terjadi hal seperti itu!, itu kan bisa merusak aqidah umat islam.
embah : enggeh Yai …….!
Ulama’ : kalau Gus Munir tahu, kenapa mereka diizinkan mengambil sembako di gereja guuuuus?.
embah : soalnya kalau ngambil di toko ndamel duwet yai!
para ulama’ sontak geram dan marah besar, beliau beliau mengeluarkan jurus andalan beliau beliau, yaitu MAQOLA. kemudian
‘Ulama’ : saya minta Gus Munir segera bertaubat, dan menghimbau para jama’ah untuk tidak lagi mengambil sembako di gereja!
embah : enggeh yai, saya akan taubat, dan mulai bulan depan para jama’ah tidak akan mengambil sembako gratis di gereja, melainkan mengambil sembako di dalem panjenengan semua.
para ‘Ulama’ terdiam dan membisu,

apakah haram mereka memakan sumbangan dari saudara kita di seberang?
apakah haram mereka mendatangi gereja untuk sekedar memenuhi undangan untuk mengambil sembako?
toh mereka masih menyembah ALLAH, mereka sholat, jama’ah dan mengaji, kenapa kita harus melarang orang lain membantu saudara kita, sedangkan tangan kita tergenggam erat tidak terbuka sedikitpun.

ternyata begitulah ulama’ kita sekarang ini, sesuai dengan apa kata bapak saya, “mbesok akeh ‘Ulama’ sing KACANG KADAL: KAKEAN CANGKEM KAKEAN DALIL, isine mbek gedekne telihe dewe”
ha ha ha ha ha ha ha ha…….. astagfirullaah…..semoga kita diselamatkan oleh Allah

( begawan semprul )

Kompetisi Foto Wisata Banyuwangi – Hadiah 1 Juta dan GRATIS Wisata Ke Banyuwangi

Pemkab Banyuwangi menggelar kompetisi foto #IniBanyuwangi untuk mempromosikan pariwisata daerah.

Panitia menyediakan hadiah untuk dua orang pemenang setiap periode/tema masing-masing Rp 1.000.000. Grand prize di akhir semua periode untuk 2 orang pemenang berwisata gratis ke Banyuwangi (transportasi dan akomodasi ditanggung panitia).

Tema Bulanan:

1. Wisata Banyuwangi Periode Mei 2015 #wisataBanyuwangi
2. Kuliner Banyuwangi Periode Juni 2015 #kulinerBanyuwangi
3. Masyarakat Banyuwangi Periode Juli 2015 #masyarakatBanyuwangi
4. Wajah Banyuwangi Kini Periode Agustus 2015 #wajahBanyuwangiKini
5. Budaya Banyuwangi Periode September 2015 #budayaBanyuwangi
6. Banyuwangi Maju Periode Oktober 2015 #Banyuwangimaju

Syarat dan Ketentuan:

1. Foto adalah karya sendiri dan belum pernah diikutkan atau menang dalam perlombaan sejenis
2. Foto yang diperlombakan diproduksi sepanjang Tahun 2013-2015
3. Terbuka untuk umum, perserta berdomisili di Indonesia dan gratis
4. Foto boleh menggunakan DLSR, Mirrorless, pocket maupun smartphone selama proses upload karya melalui aplikasi Instagram
5. Foto harus sesuai dengan norma-norma sosial serta tidak mengandung unsur kekerasan,politik, pornografi, penghinaan maupun pelecehan terhadap SARA dan latar belakang lainnya yang bersifat pribadi
6.Seluruh hasil foto merupakan tanggung jawab peserta, termasuk penggunaan model dan/atau properti. Penyelenggara kompetisi dibebaskan dari tuntutan pemilik properti dan/atau model yang disertakan dalam lomba
7. Foto kolase dan montase tidak diperkenankan, editing foto diperkenankan melalui aplikasi filter
8. Hak cipta foto tetap pada fotografer, namun Pemkab Banyuwangi dan IG @iloveBanyuwangi diizinkan menggunakan foto peserta kompetisi untuk kepentingan publikasi di INSTAGRAM maupun sarana publikasi Pemkab Banyuwangi
9. RETAG diperbolehkan, REPOST tidak diperbolehkan
10. Dengan mengirimkan foto, peserta dianggap menyetujui semua pernyataan di atas.

Mekanisme:

1. Peserta diwajibkan untuk follow
Instagram: iLoveBanyuwangi
Twitter: banyuwangi_kab
2. Upload foto yang digunakan untuk kompetisi harus melalui aplikasi INSTAGRAM dan disharing pada akun Twitter dan Facebook  pribadi masing-masing peserta. Pemenang wajib membuktikan dengan
capture
3. Peserta diharuskan untuk mention @iLoveBanyuwangi dan @Banyuwangi_kab
4.Memberikan judul dan lokasi pada foto yang digunakan untuk kompetisi
5. Peserta wajib mecantumkan hastag #iniBanyuwangi #iloveBanyuwangi #Banyuwangi serta membubuhkan tulisan baca selaluwww.banyuwangikab.go.id di setiap akhir caption atau keterangan foto serta hastag sesuai tema bulanan
6. Foto yang digunakan harus sesuai dengan tema yang telah ditentukan
7. Penambahan hastag dan mention lain dalam caption akan menggugurkan foto yang diikutkan kompetisi
8.Jumlah foto yang diikutkan tidak dibatasi jumlahnya

Ketentuan Pemenang:

1. Kompetisi foto dibagi menjadi 6 season dengan tema yang berbeda
2. Pemenang akan diumumkan melalui Instagram, Twitter, dan website Pemkab Banyuwangi setiap tanggal 15 pada bulan berikutnya
3. Pemenang diwajibkan mengirimkan file asli foto untuk verifikasi metode IPTC ke email humaskab_bwi@gmail.com
4. Keputusan Juri tidak dapat diganggu gugat

CONTOH UPLOAD:
(Menyangrai Kopai di Desa Adat Kemiren Banyuwangi #iniBanyuwangi #iLoveBanyuwangi #Banyuwangi @Banyuwangi_kab @iloveBanyuwangi baca selalu www.banyuwangikab.go.id #BudayaBanyuwangi)

sumber :

http://banyuwangikab.go.id/berita-daerah/banyuwangi-gelar-kompetisi-foto-inibanyuwangi.html

Waspada !!! Proses Pengolahan Daging Tikus Menjadi Daging Ayam Palsu

Kisah Nyata…
Tolong sebarkan info ini ke orang lain, supaya semua orang waspada…

Kalau makan di luar hati2 ya…!
Jangan asal milih murah tapi sumbernya ga jelas…

FOTO PENGOLAHAN TIKUS MENJADI AYAM TIRUAN (Jakarta sudah, ada kemungkinan selanjutnya di kota anda)
Persis banget kaya ayam…

1. Sebelum di olah asli tikus banget wujudnya
2. Dibakar dgn alat las listrik untuk hilangin bulu2 nya
3. Di cuci lalu dipotong2 untuk diserupakan dgn ayam
4. Dikasih bumbu2, entah bumbu apa, mungkin kaldu ayam juga biar bau ayam
5. Siap untuk di goreng
6. Siap di santap pakai bumbu
7. Pembeda dgn ayam asli :
Kalau kulitnya dikoyak, kelihatan ada lemak2 ga jelas gitu, ga mungkin ada lemak sebanyak gitu di ayam

Orang Blambangan Tidak Using

Salam Persahabatan…

Minggu,22 April 2012

Bagaimana Kabarnya Sahabat Mas Say Laros?

Oleh: Sumono Abdul Hamid )*

Peta Banyuwangi (istimewa)

Andai dirimu terkurung dalam jeruji besi,kakimu dirantai, sedang taring dan kukumu dicabut, maka tetaplah pelihara kilau bulumu, berjalanlah dengan tegak, dan perdengarkan aummu yang menggetarkan itu. (Kesatria MacanPutih/Blambangan)

Pendapat Pigeaud, Sang Bagawan itu meluncur tak terbendung!

Seolah sudah menjadi kesepakatan umum, bahwa, orang Blambangan itu tertutup, tidak menerima orang luar. Maka orang Blambangan, sepertinya, pantas dijuluki wong (orang) Using. Stigma dan sinisme ini begitu melekat, terus tersosialisasikan hingga generasi sekarang.

Dalam wawancara Majalah Tempo dengan Sejarawan Universitas Gajah Mada Dr. Sri Margana (edisi 13 September 2010), menyebutkan, bahwa cerita Damarwulan-Menakjinggo merupakan usaha untuk melakukan delegimitasi dan sinisme raja Blambangan. Cerita ini ditulis dalam Serat Kanda / Serat Damarwulan oleh sastrawan dari keraton Surakarta dan dipentaskan dalam bentuk Langendrian (Operate) oleh Mangkunegara IV (1853 sd 1881). Kemudian cerita itu dipopulerkan di Banyuwangi oleh penguasa Banyuwangi yang masih berdarah Surakarta.

Tulisan itu kemudian menarik saya untuk menelusuri:  sebenarnya sejak kapan delegitimasi dan sinisme terhadap orang Blambangan menjadi sangat spesifik? Artinya, tidak melalui cerita atau legenda yang menyesatkan tetapi langsung dengan menyatakan orang Blambangan sebagai orang Using?

Berbeda dengan suku lain di Nusantara yang akan meradang dengan julukan yang menegatifkan sukunya. Orang Banyuwangi seakan tak berkutik dan pasrah, malahan ada yang menjustifikasi, bahwa kata using itu harus diartikan secara positif . Atau malahan kata using, menjadi alasan untuk membangun teori bahwa orang-orang asli Banyuwangi adalah suku tersendiri, yang memikiki bahasa tersendiri , dan tidak menjadi rumpun Jawa.

Setelah menelusuri banyak tulisan tentang orang Using, ternyata semua tulisan itu menyandarkan pada pendapat begawan sastra dan sejarah Jawa, Pigeaud. Bagi saya, pendapat Sang Bagawan tersebut ibarat lubang kecil di kanal Amsterdam Belanda, kemudian menjadi jalur keluar air laut samudra Atlantik, muncrat sangat deras dan tak terbendung, sehingga menenggelamkan kota Amsterdam.

Itu perumpamaan terhadap apa yang dialami wong Blambangan. Semua sikap baik orang Blambangan, keindahan budaya kesenian, dan falsafah kepemimpinannya ( Kaloka, Prawira, Wicaksana, dan Bahasa), seperti hilang diterjang tsunami, habis tak berbekas. Yang muncul adalah pendapat yang memberi kesan negatif orang Blambangan/Banyuwangi.

Yang lebih menyedihkan, sabda tersebut menjadi kutipan babad, menjadi acuan para hobbiest, budayawan lokal, maupun para akademisi.

Di bawah ini contoh kutipan tentang Wong Blambangan yang mendasarkan Theory Pigeaud:

Etnik using dan Budaya Tradisi Lisan (Pustaka, vol VI, 2006:189)

Provinsi Jawa Timur yang tertimur adalah Kabupaten Banyuwangi. Di wilayah ini dijumpai etnik Using atau etnik yang menyatakan diri sebagai penduduk asli Blambangan Banyuwangi. Kata using merupakan kata serapan dari bahasa Bali yakni sing yang artinya tidak. Interpretasi historis bermakna etnis yang menolak hegemoni dari luar Blambangan atau kekuatan luas yang bermaksud menguasai wilayah Blambangan. Dalam konteks ini kata using berarti penduduk asli Blambangan (Banyuwangi) yang tidak mau hidup bersama dengan “Wong Jawa Kulonan” (maknanya hegemoni dari Jawa wilayah Barat) (Pigeaud, 1929 dalam Herusantoso, 1987:78).

Penduduk kabupaten Banyuwangi yang berpenutur bahasa Using diperkirakan 58%, selebihnya adalah etnik Jawa Kulonan (pendatang) yang hidup di daerah selatan dan daerah pertanian, Madura sebagai besar di pesisir/nelayan, etnis Bali, Melayu dan Bugis (Kusnadi, 2002:11)

Ada pula pengakuan Hasan Ali (almarhum), penulis kamus Bahasa Using, yang menyatakan telah memperoleh masukan berharga untuk penyusunan kamusnya itu saat membaca buku kumpulan kata-kata Osing yang disusun Van Der Tuk tahun 1970 dan buku serupa karya Prof. Th. G. Th. Pigeaud yang disusun pada 1922-1923. ( Majalah Tempo, 11 Oktober 2004).

Tetapi gempuran tersebut tidak menyurutkan budayawan lokal lainnya untuk tetap melestarikan budaya Blambangan, apapun nama yang diberikan, dengan  tetap menjaga  essensinya  dengan baik.  Karya karya mereka telah mampu menyelamatkan  peninggalan Blambangan yang eksotik  dan terus memberi dorongan para generasi berikutnya berkreasi.  Dan syukurlah akhirnya bahasa lokal ini menjadi pelajaran muatan lokal di sekolah. Budaya dan kesenian Banyuwangi  bahkan telah diakui  dan menjadi kebanggaan  nasional,  bahasa Banyuwangi terdokumentasi secara baik , pada institusi  nasional maupun international.

Banyuwangi Pluralis

Suatu hal yang sulit dipercaya, dan malahan sangat bertentangan dengan kenyataan. Bagaimana mungkin wong Blambangan dikatakan tertutup, karena pada kenyataannya di daerah terpencil dengan konsentrasi orang Banyuwangi yang cukup besar,(ex Kawedanan Rogojampi dan Kawedanan Banyuwangi), orang Banyuwangi/Blambangan hidup berdampingan dengan para pendatang baik dari luar Nusantara maupun dari Nusantara.

Malahan catatan sejarah telah membuktikan sejak tahun 1400 an pendatang dari China mendarat di Blambangan telah diterima dengan baik oleh Bhre Wirabhumi, dan sisa sisa laksamana Cheng Ho yang digempur pasukan Majapahit , di hormati. Jejak mereka nampak dalam keahlian melaut dan sistim kepelabuhan baik di Panarukan, Kedawung maupun Ulupampang.

Demikian juga keberadaan orang Bugis, Mandar, Madura, dan Bengkolen. Para pendatang awal orang Arab yang dikenal dengan sebutan Walaiti, telah masuk jauh kepedalaman, dan menyunting wong Blambangan.

Di desa terpencilpun akan kita jumpai orang China , Arab , Asia Tengah ,India, Maladiva, Arab Afrika Utara ( Al Magribi), orang Palembang, Pekalongan, Cirebon, Madura, Jawa,Bali. Sementara di daerah pesisir dapat ditemui orang Bugis, Mandar. Orang China dan bangsa lain telah meninggalkan pedalaman karena adanya Peraturan Pemerintah no 10/60, yang melarang orang asing tinggal di daerah pedalaman kecuali memilih menjadi warga negara Indonesia.

Lebih dari itu mereka telah melakukan perkawinan campuran. Bahkan mereka menggunakan bahasa Banyuwangi walaupun orang Banyuwangi sudah tidak mayoritas lagi di Kabupaten Banyuwangi sejak tahun 1774, sebagai akibat Genocida yang dilakukan Kompeni. Ini membuktikan betapa indahnya hubungan antara orang Banyuwangi dengan para pendatang.

Statistik Penduduk

Berdasarkan data pada tahun 1811 jumlah orang Blambangan/Banyuwangi berjumlah 8000 orang sedangkan pendatang berjumlah 20000 ( dua puluh ribu orang). Berdasarkan perhitungan perkembangan jumlah penduduk yang moderat ( berdasarkan pola dari perkembangan penduduk di Indonesia) maka jumlah penduduk wong Blambangan pada tahun 2011 ini akan mencapai 128 .000 jiwa.

Tetapi berdasarkan data statistik pada tahun 2006 jumlah orang pada daerah orang Banyuwangi asli mencapai 600.000 (enam ratus ribu orang). Dengan demikian jumlah real orang Banyuwangi mencapai empat kali lipat jumlah berdasarkan perhitungan.

Fakta ini membuktikan bahwa orang Banyuwangi tertutup tidak terbukti. Dengan sikap tertutup tidak mungkin terjadi perobahan/perkembangan besar yang sangat significant pada jumlah penduduk. Fakta tersebut juga membuktikan terjadi perkawinan silang antar pendatang dengan wong Blambangan yang sangat intensif, karena Genocida telah membunuh banyak kaum lelaki , dan menyisakan kaum perempuan. Hanya dengan perkawinan dengan para pendatang maka jumlah akan berkembang pesat. Contoh , seorang laki laki dan perempuan wong Banyuwangi, yang seharusnya membentuk satu keluarga Banyuwangi, dengan perkawinan silang telah membentuk dua keluarga Banyuwangi.

Benarkah Pigeaud pernah berpendapat bahwa orang Blambangan tertutup?

Kutipan tentang pendapat Sang Bagawan bahwa wong Blambangan tertutup, menimbulkan tanda tanya besar karena tidak ditemukan judul karya seperti itu. Apalagi kemudian tahun yang disajikan berubah, dari tahun 1929, malahan ada budayawan lokal mencantumkan tahun 1920, 1923, dan ada lagi 1925, dan tahun 1930. Padahal dari pelacakan penulis tentang sang Bagawan , tidak ditemukan satupun karya beliau yang ditulis sebelum tahun 1934, apalagi tahun 1925 atau sebelumnya. Karena saat itu Pigeaud masih menjadi mahasiswa dan tinggal di Belanda.

Pigeaud adalah orang yang sejak muda sangat perfeksionis dan berpandangan luas. Sulit memahami, kalau dia memberikan pandangan tentang suatu masalah dengan mengambil study pada sekelompok kecil masyarakat kemudian menyimpulkan dengan kata yang sederhana dan simpel. Pemikirannya akan menjelajah samudera yang lebih luas.

Semua karya yang dihasilkan sangat monumental dan adalah pantas beliau mendapat gelar Bagawan sastra dan sejarah Jawa. Tugas yang diberikan kepadanya untuk memperbaiki kamus bahasa Jawa Belanda, malah menjadi karya monumental , dan menjadi references penulisan kamus bahasa Jawa Belanda (1938).

Demikian juga tugas yang diberikan oleh KITLV untuk menyunting ulang dan menterjemahkan Kakawin Nagarakretagama pada tahun 1948, dilakukan Pigeaud dalam waktu sepuluh tahun.  Hasilnya adalah karya monumental yang terdiri atas lima jilid berjudul Java in The 14th Century ( 1960 -1963) dengan 1500 halaman.

Setelah Java in the 14th Century, Pigeaud memulai magnum opus-nya (“karya utama”), atau katalog naskah manuskrip Jawa di Belanda, Belgia, Jakarta dan Singaraja. Katalognya terdiri atas empat jilid dan terbit antara tahun 1967 dan 1980.

Kesimpulan penulis, Pigeaud tidak pernah menulis tentang wong Banyuwangi sebelum tahun 1934. Inilah aktivitas beliau sebelum tahun 1934:

– Theo tinggal di Den Haag bersekolah di Gymnasium Haganum. Tahun 1916 ia kuliah di Universitas Leiden, Taal- en Letterkunde van den Oostindischen archipel (“Bahasa dan Sastra Kepulauan Hindia-Timur”).

– Pada tahun 1919 Pigeaud menyelesaikan studi S1-nya. Kemudian melanjutkan studi bahasa Melayu, bahasa Jawa, dan bahasa Persia.

– Tahun 1922, S2 cum laude

– Tahun 1924, Pigeaud menyelesaikan S3 dengan disertasi pembahasan sebuah karya sastra Jawa Pertengahan berjudul Tantu Panggelaran mitologi Jawa Kuna.

– Thn 1925 Pigeaud berangkat ke pulau Jawa, ditugaskan pada Adviseur voor Inlandse Zaken (“Penasehat Urusan Pribumi”) bersama Prof Hoesein Djajadiningrat dan Prof Bertram Johannes Otto Schrieke guru besar pada Fakultas Hukum.

– Pada 29 Desember 1925, memulai pekerjaannya yang dicintai, yaitu merevisi dan menambah kamus Jawa-Belanda Gericke-Roorda. Akhirnya kamus Jawa-Belanda Pigeaud terbit pada tahun 1938. Kamus ini bisa dianggap sebagai tambahan penting kamus Gericke-Roorda.

Jadi sekarang jelaslah kebohongan itu. Sang Bagawan sesungguhnya tidak pernah menulis apapun tentang Orang Blambangan. Dan sepenuhnya para penulis itu melakukan rekayasa yang luar biasa.

Karya beliau lainnya adalah :

• Tahun 1932” ANTEKENINGEN BETREFFENDE DEN JAVAANSCHEN Oosthoek “ TBG LXXXII

• 1938, Javaans — Nederlands handwoordenboek. Groningen: Wolters

• 1960, Java in the 14th century : a study in cultural history : the Nagara-Kertagama by Rakawi, prapañca of Majapahit, 1365 A.D. Vol I: Javanese texts in transcription. The Hague: Martinus Nijhoff

• 1962, Java in the 14th century : a study in cultural history : the Nagara-Kertagama by Rakawi, prapañca of Majapahit, 1365 A.D. Vol IV: Commentaries and recapitulation. The Hague: Martinus Nijhoff

• 1963, Java in the 14th century : a study in cultural history : the Nagara-Kertagama by Rakawi, prapañca of Majapahit, 1365 A.D. Vol V: Glossary, general index. The Hague: Martinus Nijhoff

• 1967, Literature of Java : catalogue raisonné of Javanese manuscripts in the Library of the University of Leiden and other public collections in the Netherlands. I: Synopsis of Javanese literature 900-1900 A.D. The Hague:Martinus Nyhoff

• 1968, Literature of Java : catalogue raisonné of Javanese manuscripts in the Library of the University of Leiden and other public collections in the Netherlands.Vol.II: Descriptive list of Javanese manuscripts. The Hague:Martinus Nyhoff

• 1970, Literature of Java : catalogue raisonné of Javanese manuscripts in the Li y of the University of Leiden and other public collections in the Netherlands. Vol.III: Illustrations and facsimiles of manuscripts, maps, addenda and a general index of names and subjects. The Hague:Martinus Nyhoff

• 1974, De eerste Moslimse vorstendommen op Java. Den Haag: Martinus Nijhoff

• 1975, Javanese and Balinese manuscripts and some codices written in related idioms spoken in Java and Bali : descriptive catalogue.Wiesbaden: F. Steiner

• 1980, Literature of Java : catalogue raisonné of Javanese manuscripts in the Library of the University of Leiden and other public collections in the Netherlands. Vol.IV: Supplement. The Hague:Martinus Nyhoff

• 1985, Javanese and Balinese manuscripts and some codices written in related idioms spoken in Java and Bali : descriptive catalogue.Stuttgart: Steiner. Beschrieben von Theodore G. Th. Pigeaud, und P. Voorhoeve.

)* adalah mantan General Manager PT Krakatau Steel, kelahiran Banyuwangi. Kini tinggal di Jakarta.

http://www.sejarahbanyuwangi.org/?p=810