Salam Persahabatan…
Minggu,22 April 2012
Bagaimana Kabarnya Sahabat Mas Say Laros?
Oleh: Sumono Abdul Hamid )*
Peta Banyuwangi (istimewa)
Andai dirimu terkurung dalam jeruji besi,kakimu dirantai, sedang taring dan kukumu dicabut, maka tetaplah pelihara kilau bulumu, berjalanlah dengan tegak, dan perdengarkan aummu yang menggetarkan itu. (Kesatria MacanPutih/Blambangan)
Pendapat Pigeaud, Sang Bagawan itu meluncur tak terbendung!
Seolah sudah menjadi kesepakatan umum, bahwa, orang Blambangan itu tertutup, tidak menerima orang luar. Maka orang Blambangan, sepertinya, pantas dijuluki wong (orang) Using. Stigma dan sinisme ini begitu melekat, terus tersosialisasikan hingga generasi sekarang.
Dalam wawancara Majalah Tempo dengan Sejarawan Universitas Gajah Mada Dr. Sri Margana (edisi 13 September 2010), menyebutkan, bahwa cerita Damarwulan-Menakjinggo merupakan usaha untuk melakukan delegimitasi dan sinisme raja Blambangan. Cerita ini ditulis dalam Serat Kanda / Serat Damarwulan oleh sastrawan dari keraton Surakarta dan dipentaskan dalam bentuk Langendrian (Operate) oleh Mangkunegara IV (1853 sd 1881). Kemudian cerita itu dipopulerkan di Banyuwangi oleh penguasa Banyuwangi yang masih berdarah Surakarta.
Tulisan itu kemudian menarik saya untuk menelusuri: sebenarnya sejak kapan delegitimasi dan sinisme terhadap orang Blambangan menjadi sangat spesifik? Artinya, tidak melalui cerita atau legenda yang menyesatkan tetapi langsung dengan menyatakan orang Blambangan sebagai orang Using?
Berbeda dengan suku lain di Nusantara yang akan meradang dengan julukan yang menegatifkan sukunya. Orang Banyuwangi seakan tak berkutik dan pasrah, malahan ada yang menjustifikasi, bahwa kata using itu harus diartikan secara positif . Atau malahan kata using, menjadi alasan untuk membangun teori bahwa orang-orang asli Banyuwangi adalah suku tersendiri, yang memikiki bahasa tersendiri , dan tidak menjadi rumpun Jawa.
Setelah menelusuri banyak tulisan tentang orang Using, ternyata semua tulisan itu menyandarkan pada pendapat begawan sastra dan sejarah Jawa, Pigeaud. Bagi saya, pendapat Sang Bagawan tersebut ibarat lubang kecil di kanal Amsterdam Belanda, kemudian menjadi jalur keluar air laut samudra Atlantik, muncrat sangat deras dan tak terbendung, sehingga menenggelamkan kota Amsterdam.
Itu perumpamaan terhadap apa yang dialami wong Blambangan. Semua sikap baik orang Blambangan, keindahan budaya kesenian, dan falsafah kepemimpinannya ( Kaloka, Prawira, Wicaksana, dan Bahasa), seperti hilang diterjang tsunami, habis tak berbekas. Yang muncul adalah pendapat yang memberi kesan negatif orang Blambangan/Banyuwangi.
Yang lebih menyedihkan, sabda tersebut menjadi kutipan babad, menjadi acuan para hobbiest, budayawan lokal, maupun para akademisi.
Di bawah ini contoh kutipan tentang Wong Blambangan yang mendasarkan Theory Pigeaud:
Etnik using dan Budaya Tradisi Lisan (Pustaka, vol VI, 2006:189)
Provinsi Jawa Timur yang tertimur adalah Kabupaten Banyuwangi. Di wilayah ini dijumpai etnik Using atau etnik yang menyatakan diri sebagai penduduk asli Blambangan Banyuwangi. Kata using merupakan kata serapan dari bahasa Bali yakni sing yang artinya tidak. Interpretasi historis bermakna etnis yang menolak hegemoni dari luar Blambangan atau kekuatan luas yang bermaksud menguasai wilayah Blambangan. Dalam konteks ini kata using berarti penduduk asli Blambangan (Banyuwangi) yang tidak mau hidup bersama dengan “Wong Jawa Kulonan” (maknanya hegemoni dari Jawa wilayah Barat) (Pigeaud, 1929 dalam Herusantoso, 1987:78).
Penduduk kabupaten Banyuwangi yang berpenutur bahasa Using diperkirakan 58%, selebihnya adalah etnik Jawa Kulonan (pendatang) yang hidup di daerah selatan dan daerah pertanian, Madura sebagai besar di pesisir/nelayan, etnis Bali, Melayu dan Bugis (Kusnadi, 2002:11)
Ada pula pengakuan Hasan Ali (almarhum), penulis kamus Bahasa Using, yang menyatakan telah memperoleh masukan berharga untuk penyusunan kamusnya itu saat membaca buku kumpulan kata-kata Osing yang disusun Van Der Tuk tahun 1970 dan buku serupa karya Prof. Th. G. Th. Pigeaud yang disusun pada 1922-1923. ( Majalah Tempo, 11 Oktober 2004).
Tetapi gempuran tersebut tidak menyurutkan budayawan lokal lainnya untuk tetap melestarikan budaya Blambangan, apapun nama yang diberikan, dengan tetap menjaga essensinya dengan baik. Karya karya mereka telah mampu menyelamatkan peninggalan Blambangan yang eksotik dan terus memberi dorongan para generasi berikutnya berkreasi. Dan syukurlah akhirnya bahasa lokal ini menjadi pelajaran muatan lokal di sekolah. Budaya dan kesenian Banyuwangi bahkan telah diakui dan menjadi kebanggaan nasional, bahasa Banyuwangi terdokumentasi secara baik , pada institusi nasional maupun international.
Banyuwangi Pluralis
Suatu hal yang sulit dipercaya, dan malahan sangat bertentangan dengan kenyataan. Bagaimana mungkin wong Blambangan dikatakan tertutup, karena pada kenyataannya di daerah terpencil dengan konsentrasi orang Banyuwangi yang cukup besar,(ex Kawedanan Rogojampi dan Kawedanan Banyuwangi), orang Banyuwangi/Blambangan hidup berdampingan dengan para pendatang baik dari luar Nusantara maupun dari Nusantara.
Malahan catatan sejarah telah membuktikan sejak tahun 1400 an pendatang dari China mendarat di Blambangan telah diterima dengan baik oleh Bhre Wirabhumi, dan sisa sisa laksamana Cheng Ho yang digempur pasukan Majapahit , di hormati. Jejak mereka nampak dalam keahlian melaut dan sistim kepelabuhan baik di Panarukan, Kedawung maupun Ulupampang.
Demikian juga keberadaan orang Bugis, Mandar, Madura, dan Bengkolen. Para pendatang awal orang Arab yang dikenal dengan sebutan Walaiti, telah masuk jauh kepedalaman, dan menyunting wong Blambangan.
Di desa terpencilpun akan kita jumpai orang China , Arab , Asia Tengah ,India, Maladiva, Arab Afrika Utara ( Al Magribi), orang Palembang, Pekalongan, Cirebon, Madura, Jawa,Bali. Sementara di daerah pesisir dapat ditemui orang Bugis, Mandar. Orang China dan bangsa lain telah meninggalkan pedalaman karena adanya Peraturan Pemerintah no 10/60, yang melarang orang asing tinggal di daerah pedalaman kecuali memilih menjadi warga negara Indonesia.
Lebih dari itu mereka telah melakukan perkawinan campuran. Bahkan mereka menggunakan bahasa Banyuwangi walaupun orang Banyuwangi sudah tidak mayoritas lagi di Kabupaten Banyuwangi sejak tahun 1774, sebagai akibat Genocida yang dilakukan Kompeni. Ini membuktikan betapa indahnya hubungan antara orang Banyuwangi dengan para pendatang.
Statistik Penduduk
Berdasarkan data pada tahun 1811 jumlah orang Blambangan/Banyuwangi berjumlah 8000 orang sedangkan pendatang berjumlah 20000 ( dua puluh ribu orang). Berdasarkan perhitungan perkembangan jumlah penduduk yang moderat ( berdasarkan pola dari perkembangan penduduk di Indonesia) maka jumlah penduduk wong Blambangan pada tahun 2011 ini akan mencapai 128 .000 jiwa.
Tetapi berdasarkan data statistik pada tahun 2006 jumlah orang pada daerah orang Banyuwangi asli mencapai 600.000 (enam ratus ribu orang). Dengan demikian jumlah real orang Banyuwangi mencapai empat kali lipat jumlah berdasarkan perhitungan.
Fakta ini membuktikan bahwa orang Banyuwangi tertutup tidak terbukti. Dengan sikap tertutup tidak mungkin terjadi perobahan/perkembangan besar yang sangat significant pada jumlah penduduk. Fakta tersebut juga membuktikan terjadi perkawinan silang antar pendatang dengan wong Blambangan yang sangat intensif, karena Genocida telah membunuh banyak kaum lelaki , dan menyisakan kaum perempuan. Hanya dengan perkawinan dengan para pendatang maka jumlah akan berkembang pesat. Contoh , seorang laki laki dan perempuan wong Banyuwangi, yang seharusnya membentuk satu keluarga Banyuwangi, dengan perkawinan silang telah membentuk dua keluarga Banyuwangi.
Benarkah Pigeaud pernah berpendapat bahwa orang Blambangan tertutup?
Kutipan tentang pendapat Sang Bagawan bahwa wong Blambangan tertutup, menimbulkan tanda tanya besar karena tidak ditemukan judul karya seperti itu. Apalagi kemudian tahun yang disajikan berubah, dari tahun 1929, malahan ada budayawan lokal mencantumkan tahun 1920, 1923, dan ada lagi 1925, dan tahun 1930. Padahal dari pelacakan penulis tentang sang Bagawan , tidak ditemukan satupun karya beliau yang ditulis sebelum tahun 1934, apalagi tahun 1925 atau sebelumnya. Karena saat itu Pigeaud masih menjadi mahasiswa dan tinggal di Belanda.
Pigeaud adalah orang yang sejak muda sangat perfeksionis dan berpandangan luas. Sulit memahami, kalau dia memberikan pandangan tentang suatu masalah dengan mengambil study pada sekelompok kecil masyarakat kemudian menyimpulkan dengan kata yang sederhana dan simpel. Pemikirannya akan menjelajah samudera yang lebih luas.
Semua karya yang dihasilkan sangat monumental dan adalah pantas beliau mendapat gelar Bagawan sastra dan sejarah Jawa. Tugas yang diberikan kepadanya untuk memperbaiki kamus bahasa Jawa Belanda, malah menjadi karya monumental , dan menjadi references penulisan kamus bahasa Jawa Belanda (1938).
Demikian juga tugas yang diberikan oleh KITLV untuk menyunting ulang dan menterjemahkan Kakawin Nagarakretagama pada tahun 1948, dilakukan Pigeaud dalam waktu sepuluh tahun. Hasilnya adalah karya monumental yang terdiri atas lima jilid berjudul Java in The 14th Century ( 1960 -1963) dengan 1500 halaman.
Setelah Java in the 14th Century, Pigeaud memulai magnum opus-nya (“karya utama”), atau katalog naskah manuskrip Jawa di Belanda, Belgia, Jakarta dan Singaraja. Katalognya terdiri atas empat jilid dan terbit antara tahun 1967 dan 1980.
Kesimpulan penulis, Pigeaud tidak pernah menulis tentang wong Banyuwangi sebelum tahun 1934. Inilah aktivitas beliau sebelum tahun 1934:
– Theo tinggal di Den Haag bersekolah di Gymnasium Haganum. Tahun 1916 ia kuliah di Universitas Leiden, Taal- en Letterkunde van den Oostindischen archipel (“Bahasa dan Sastra Kepulauan Hindia-Timur”).
– Pada tahun 1919 Pigeaud menyelesaikan studi S1-nya. Kemudian melanjutkan studi bahasa Melayu, bahasa Jawa, dan bahasa Persia.
– Tahun 1922, S2 cum laude
– Tahun 1924, Pigeaud menyelesaikan S3 dengan disertasi pembahasan sebuah karya sastra Jawa Pertengahan berjudul Tantu Panggelaran mitologi Jawa Kuna.
– Thn 1925 Pigeaud berangkat ke pulau Jawa, ditugaskan pada Adviseur voor Inlandse Zaken (“Penasehat Urusan Pribumi”) bersama Prof Hoesein Djajadiningrat dan Prof Bertram Johannes Otto Schrieke guru besar pada Fakultas Hukum.
– Pada 29 Desember 1925, memulai pekerjaannya yang dicintai, yaitu merevisi dan menambah kamus Jawa-Belanda Gericke-Roorda. Akhirnya kamus Jawa-Belanda Pigeaud terbit pada tahun 1938. Kamus ini bisa dianggap sebagai tambahan penting kamus Gericke-Roorda.
Jadi sekarang jelaslah kebohongan itu. Sang Bagawan sesungguhnya tidak pernah menulis apapun tentang Orang Blambangan. Dan sepenuhnya para penulis itu melakukan rekayasa yang luar biasa.
Karya beliau lainnya adalah :
• Tahun 1932” ANTEKENINGEN BETREFFENDE DEN JAVAANSCHEN Oosthoek “ TBG LXXXII
• 1938, Javaans — Nederlands handwoordenboek. Groningen: Wolters
• 1960, Java in the 14th century : a study in cultural history : the Nagara-Kertagama by Rakawi, prapañca of Majapahit, 1365 A.D. Vol I: Javanese texts in transcription. The Hague: Martinus Nijhoff
• 1962, Java in the 14th century : a study in cultural history : the Nagara-Kertagama by Rakawi, prapañca of Majapahit, 1365 A.D. Vol IV: Commentaries and recapitulation. The Hague: Martinus Nijhoff
• 1963, Java in the 14th century : a study in cultural history : the Nagara-Kertagama by Rakawi, prapañca of Majapahit, 1365 A.D. Vol V: Glossary, general index. The Hague: Martinus Nijhoff
• 1967, Literature of Java : catalogue raisonné of Javanese manuscripts in the Library of the University of Leiden and other public collections in the Netherlands. I: Synopsis of Javanese literature 900-1900 A.D. The Hague:Martinus Nyhoff
• 1968, Literature of Java : catalogue raisonné of Javanese manuscripts in the Library of the University of Leiden and other public collections in the Netherlands.Vol.II: Descriptive list of Javanese manuscripts. The Hague:Martinus Nyhoff
• 1970, Literature of Java : catalogue raisonné of Javanese manuscripts in the Li y of the University of Leiden and other public collections in the Netherlands. Vol.III: Illustrations and facsimiles of manuscripts, maps, addenda and a general index of names and subjects. The Hague:Martinus Nyhoff
• 1974, De eerste Moslimse vorstendommen op Java. Den Haag: Martinus Nijhoff
• 1975, Javanese and Balinese manuscripts and some codices written in related idioms spoken in Java and Bali : descriptive catalogue.Wiesbaden: F. Steiner
• 1980, Literature of Java : catalogue raisonné of Javanese manuscripts in the Library of the University of Leiden and other public collections in the Netherlands. Vol.IV: Supplement. The Hague:Martinus Nyhoff
• 1985, Javanese and Balinese manuscripts and some codices written in related idioms spoken in Java and Bali : descriptive catalogue.Stuttgart: Steiner. Beschrieben von Theodore G. Th. Pigeaud, und P. Voorhoeve.
)* adalah mantan General Manager PT Krakatau Steel, kelahiran Banyuwangi. Kini tinggal di Jakarta.
http://www.sejarahbanyuwangi.org/?p=810
Filed under: Banyuwangi | Tagged: blambangan, Orang, Tidak, Using | 2 Comments »