Salam Jenggirat Tangi !!!
Selamat Datang DiPadepokan Mas Say Laros…
Tentang Pekerja Seks Laki-Laki dan Pasangan Seksualnya
Irwan M. Hidayana
Abstrak:
Wacana tentang pelacuran selama ini hanya berputar pada
pekerja seks perempuan dan mengabaikan keberadaan pekerja seks
laki-laki. Bahkan, wacana pelacuran yang heteroseksual juga tidak
membahas laki-laki yang membeli jasa seks dari pekerja seks perempuan.
Tulisan ini berupaya mengisi kekosongan literatur tentang
pekerja seks laki-laki (PSL) dan klien/pasangan dari PSL itu sendiri.
Penelitian ini dilakukan di Jakarta dan memiliki keterbatasan
karena terfokus pada PSL di panti-panti pijat. PSL atau “kucing”
dan klien/pasangannya menunjukkan identitas seksual dan praktik
seksual yang dinamis karena dipengaruhi oleh kepercayaan (trust),
hubungan antarpribadi, faktor ekonomi, persepsi terhadap risiko
dan pemaknaan terhadap seks. Laki-laki yang menjadi klien dan
pasangan tetap dari PSL mempunyai jaringan seksual yang cukup
luas karena mereka cenderung berhubungan seks dengan lebih
dari satu pasangan. Bagi klien, kenikmatan seksual, fantasi seksual,
dan variasi seks merupakan alasan utama menggunakan jasa PSL.
Pasangan tetap perempuan mengutamakan ikatan emosional–cinta
dan kasihan– dalam relasinya dengan PSL.
Kata kunci: pelacuran, pekerja seks laki-laki, identitas seksual,
praktik seksual
Pendahuluan
Kajian-kajian tentang pelacuran atau industri seks selama ini
lebih banyak menyoroti pekerja seks perempuan (Jones, Sulistyaningsih,
dan Hull 1997; Koentjoro 2004; Purnomo dan Siregar 1983;
Murray 1991; Sedyaningsih-Mamahit 1999) dari berbagai kelas sosial,
mulai dari yang beroperasi di jalan-jalan hingga call girl atau
lady escort yang melayani pelanggan kelas atas. Sementara sedikit studi telah memfokuskan pada pekerja seks waria (Atmodjo 1986;
Koeswinarno 1996). Mata rantai yang hilang dalam kajian-kajian di
atas adalah laki-laki yang membeli jasa seks dari perempuan maupun
waria. Kita hampir tidak memiliki informasi dan gambaran
yang lengkap tentang pelanggan pekerja seks ini. Di samping itu
lebih dari satu dasawarsa terakhir fenomena laki-laki yang menjajakan
seks pun untuk pelanggan laki-laki semakin marak dan masih
kurang dikaji secara mendalam, termasuk mereka yang melayani
perempuan yang biasa disebut gigolo (Sudarsono 1998).
Berbicara tentang kerja seks laki-laki mau tidak mau membawa
kita juga berbicara tentang homoseksualitas dan pelacuran
yang seringkali menimbulkan perdebatan kontroversial dan disangkal
keberadaannya di banyak negara (Altman 1999, xiii). Namun
dalam wacana tentang homoseksualitas pun keberadaan laki-laki
pekerja seks sering tidak tampak. Perdebatan tentang homoseksualitas
cenderung berputar pada persoalan moralitas, agama, kesehatan
mental, dan gaya hidup. Bagi masyarakat umum, pekerja seks
laki-laki—yang biasa disebut kucing dalam bahasa pergaulan kaum
gay—hampir-hampir tidak disadari keberadaannya sehingga wacana
tentang pelacuran dalam diskusi, seminar, fi lm, media massa,
ceramah agama, dan lainnya selalu bicara tentang perempuan sebagai
pelacur. Oleh karena itu, tentulah penting untuk menguak
tabir dunia pelacuran laki-laki agar kita dapat lebih memahami
kompleksitas dinamika sosial masyarakat kosmopolitan Indonesia
yang terus mengalami berbagai perubahan dalam segala aspek kehidupan.
Catatan metodologis
Studi ini dilakukan pada tahun 2002 sehingga perlu disadari
bahwa apa yang penulis paparkan melalui tulisan ini sudah mengalami
banyak perubahan dalam realitas sosial kontemporer1. Keterbatasan
lain adalah studi ini hanya terfokus pada pekerja seks lakilaki
di panti pijat, sehingga kurang melukiskan keragaman warna dari pekerja seks laki-laki lainnya (bar/diskotik, jalanan, pusat ke-bugaran, dunia maya, atau lainnya). Studi ini merupakan studi
pendahuluan untuk mengeksplorasi dunia pelacuran laki-laki yang
relatif masih sangat terbatas.
Tim peneliti melakukan wawancara mendalam terhadap 15
pekerja seks laki-laki (PSL) di Jakarta. Hal yang menjadi persoalan
dalam penelitian ini adalah tingkat sensitifi tasnya yang tinggi untuk
memulai pengidentifi kasian keberadaan mereka. Langkah pertama
untuk mendapatkan calon informan adalah melalui sebuah
LSM yang mulai menjangkau PSL khususnya yang berada di pantipanti
pijat. Tim peneliti direkomendasikan beberapa nama PSL
yang mungkin bisa diwawancarai dan juga diperkenalkan langsung
kepada mereka. Selanjutnya, pewawancara menggunakan
teknik snowball melalui PSL yang sudah diwawancarai atau pun
teman-teman yang mengenal dan mengetahui keberadaan PSL.
Tempat-tempat umum di mana mereka biasa mangkal, nongkrong
bersosialisasi bahkan bernegosiasi menjadi tempat pengamatan tim
pewawancara untuk mengetahui keberadaan mereka.
Kami juga mewawancarai pasangan tetap dan klien dari
PSL. Identifi kasi awal klien/pasangan PSL adalah melalui beberapa
informan PSL yang telah kami wawancarai sebelumnya. Kami
meminta bantuan mereka untuk mencarikan klien yang bersedia
diwawancarai. Namun setelah 2 minggu sejak tim peneliti menghubungi
mereka, tidak ada satu pun klien yang diperoleh untuk
diwawancarai. Sementara ada 3 pasangan tetap (regular partner)
PSL yang berhasil diwawancarai, yaitu 2 perempuan dan 1 lakilaki.
Akhirnya tim peneliti mencari klien PSL melalui teman-teman
yang mungkin mengetahui keberadaan mereka. Kami juga mendatangi
beberapa panti pijat, tetapi pengelola panti pijat umumnya
berkeberatan apabila kami melakukan wawancara terhadap klien
yang datang ke tempat tersebut. Beberapa klien kami dapatkan di
sebuah salon berdasarkan informasi yang kami terima dari teman.
Dari aspek usia, rentang usia 15 informan yang berpartisipasi dalam
penelitian ini cukup besar, yaitu termuda berusia 20 tahun dan
tertua berusia 60 tahun.
Tempat-tempat umum seperti restoran, rumah makan dan
taman, atau rumah dari teman informan menjadi tempat dilakukannya
wawancara. Semuanya dilaksanakan dengan memperhatikan
kenyamanan wawancara agar privasi tetap terjaga. Wawancara
dilakukan biasanya pada saat siang atau sore hari karena menyesuaikan
dengan waktu senggang para informan. Setiap wawancara mendalam menghabiskan waktu 90-120 menit, walaupun terkadang
bisa lebih lama. Wawancara terhadap satu informan bisa dilakukan
lebih dari 1 kali tergantung pada kedalaman informasi yang diperoleh
pada saat wawancara pertama dilakukan. Seluruh percakapan
direkam ke dalam kaset untuk kemudian ditranskripsikan secara
verbatim oleh pewawancara.
Kucing:2 Siapakah mereka?
Lima belas informan yang dipilih secara acak, keseluruhannya
berusia tidak lebih dari 30 tahun. Roger–-yang mengaku punya
pacar laki-laki yang bekerja di salon—adalah informan termuda,
berusia 19 tahun, yang mulai menjajakan diri sekitar bulan April
tahun 2002. Meski relatif baru memasuki dunia seks, ia mempunyai
riwayat seksual yang sudah cukup lama. Pada usia 11 tahun atau
ketika kelas 5 SD, ia sudah melakukan aktivitas seksual dengan pria
meski tidak terlalu intim. Menurut pengakuannya, saat itu ia sama
sekali tidak mengerti apa itu hubungan seks, tetapi ia mengakui
bahwa semenjak kecil ia memang mempunyai kecenderungan lebih
menyukai laki-laki dibandingkan perempuan. ”Saya suka laki-laki…
saya sama perempuan sekedar suka aja…, tapi kalo seks saya
nggak…nggak tahu deh…nggak bisa kali ya,…nggak nafsu,“ tutur
Roger. Tiga informan lain yaitu Yosa, Vikto, dan Inung juga mempunyai
riwayat yang sama ketika pertama kali berhubungan seks,
yaitu dengan laki-laki.
Meski mempunyai riwayat yang sama, masing-masing mereka
mengidentifi kasi dirinya berbeda satu sama lain. Roger menganggap
dirinya adalah seorang gay, yaitu laki-laki yang suka
laki-laki. Ini berbeda dengan Inung yang menganggap dirinya
adalah seorang biseksual karena saat ini tidak hanya laki-laki yang
ia layani, tetapi juga perempuan. Lain halnya dengan Vikto yang
menganggap identitas dirinya tergantung pada situasi dan kondisi
yang ada. “Kadang tamu itu diperlakukan sebagai perempuan, ya
saya harus sebagai laki-laki,” jelas Vikto.
Sekalipun demikian, Vikto mengakui bahwa peran yang dimainkan
dalam pekerjaannya sebagai pekerja seks lebih banyak
menjadi laki-laki dibanding menjadi perempuan. Sedangkan Yosa
menganggap dirinya adalah seorang homoseksual tetapi bukan gay, karena menurutnya, gay adalah laki-laki yang lebih bersifat
feminin sedangkan dirinya tidak tampak feminin. Tetapi dalam
konteks pekerjaan, Yosa mengakui peranannya bisa sebagai lakilaki
atau perempuan.
Di bawah ini sedikit cuplikan wawancara dengan Yosa.
Yosa : Tergantung. Kadang kalau klien kita itu lebih
feminin, ya kita jadi laki-laki.
Pewawancara : Kalau dengan pasangan tetap kamu yang
sekarang ini, bagaimana kamu mengidentifi
kasikan diri?
Yosa : Saya perempuan. Karena saya perhatiannya
lebih ada, lebih gitu ya dan dia lebih
kewibawaan.
Akan halnya sebelas informan lain, semuanya mengakui
pertama kali berhubungan seks dengan perempuan. Tiga orang di
antaranya, Wisnu, Noer, dan Wicak, adalah informan yang sampai
saat ini mengidentifi kasi dirinya sebagai laki-laki sejati, meski pun
mereka saat ini harus melayani laki-laki. Wisnu dan Wicak sampai
saat ini mempunyai pacar perempuan, sedangkan Noer mempunyai
seorang istri yang hingga sekarang tidak mengetahui pekerjaannya
sebagai pemuas kebutuhan seks laki-laki. Wicak yang tidak
pernah mau ditempong3 oleh kliennya mengatakan,
…karena saya merasa… alasannya kalo saya bisa ‘ditem’ berarti
saya sesuai dong…ehm… karena berhubung saya ngga
bisa ‘ngetem’… jadi saya bilang bahwa saya adalah sebagai
laki-laki…. kalo laki-laki ya orang yang mempunyai vital dan
punya kepribadian bahwa dia itu tetep suka ke seorang wanita.
Cuman itu yang saya tau….
Bagi ketiganya, melayani laki-laki sebagaimana yang mereka
lakukan saat ini adalah tuntutan pekerjaan, karena dari sanalah
mereka memperoleh nafk ah untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sofyan—berasal dari Solo dan baru 3 bulan bekerja di panti pijat—secara lugas berkata, “Simpel aja, karena saya butuh uang,
biaya hidup untuk makan sehari-hari dan uang tabungan saya,
walaupun saya tahu itu risikonya sangat tinggi.” Ucapan Sofyan
tersebut menyiratkan deseksualisasi dari seks itu sendiri. Sebagian
PSL memandang bahwa melayani hasrat seksual laki-laki yang
menjadi kliennya bukanlah ’seks’.
Dari delapan informan yang lain, lima di antaranya mengaku
bahwa dirinya menjadi biseksual setelah mereka bekerja secara
tetap memberikan pelayanan seksual kepada laki-laki. Sementara,
tiga lainnya yang mengaku sebagai biseksual mengungkapkan bahwa
kecenderungan untuk berhubungan dengan laki-laki karena
mereka memang sebelumnya menyukai perempuan dan laki-laki,
dan mereka juga sudah merasakan hubungan sejenis ketika mereka
masih di bangku sekolah serta saat mereka sudah bekerja.
Dari sini bisa dilihat bahwa identitas seksual seseorang tidak
sesederhana yang diperkirakan. Bahkan, pada orang-orang yang
biasa dianggap jelas identitas seksualnya oleh orang-orang di
sekitarnya pun realitasnya sangat kompleks. Identitas seksual seseorang
bersifat cair. Pengidentifi kasian diri para informan tersebut
perlu dipahami bukan sebagai identitas yang tetap dan pasti karena
identitas tidak selalu berarti siapa dirimu tetapi juga apa yang
kamu lakukan dan dalam konteks sosial apa identitas itu terbentuk
(Khan 1998, 195).
Dari variabel usia, riwayat seksual dan pengidentifi kasian
diri jelas bahwa tidak semua pekerja seks laki-laki yang dalam pekerjaannya
lebih banyak melayani laki-laki sesungguhnya mempunyai
kecenderungan awal untuk suka dengan laki-laki. Motif ekonomi
pada kenyataannya memang berperan sebagai faktor yang mendorong
mereka menjadi pekerja seks. Alasan itu juga terungkap lewat
informan yang memang sejak awal mempunyai kecenderungan untuk
menyukai laki-laki.
Memasuki Dunia Kerja Seks
Berdasarkan jawaban semua informan ketika ditanyakan
‘kapan pertama kali informan menjajakan seks secara komersial’, ternyata
terungkap bahwa mereka sebenarnya menggeluti pekerjaan sebagai
pekerja seks relatif baru. Paling lama dilakukan oleh informan Vikto,
yaitu mulai tahun 1999, sedangkan lainnya ada yang baru bekerja
setahun bahkan ada yang baru 3 bulan terakhir saat penelitian ini
dilakukan. Dari hasil wawancara terungkap bahwa hampir seluruh informan sebelumnya mempunyai pekerjaan lain seperti menjadi
pelaut, administrator, pelayan restoran, penjaga toko atau karyawan
perusahaan swasta.
Salah seorang informan pendatang yang mengaku berasal
dari Solo, Sofyan, mengungkapkan latar belakang pekerjaannya
sebelum ia akhirnya terjun menjadi pekerja seks.
Sebenarnya saya sudah bekerja sebagai administrasi peternakan
dan penyuplai tempat-tempat peternakan di daerah
Cianjur, tapi karena krisis perusahaan bangkrut, saya jadi
tidak bekerja …terus ke Jakarta mengadu nasib…, sekitar bulan
Maret tiga bulan lalu saya diajak teman untuk kerja kayak
gini ya udah keterusan.
Ia setiap bulan harus mengirimkan uang kepada keluarganya
di kampung untuk membantu membiayai dua adiknya yang masih
bersekolah.
Enday, informan lain yang berasal dari Jakarta, yang kecewa
setelah tidak bisa lagi meneruskan pekerjaannya di kapal karena
tidak ada modal untuk biaya keberangkatan, mengungkapkan,
“Sebelum kerja begini saya pernah kerja di kapal, waktu itu saya
kenalan sama orang Jepang, dia lama di Thailand ngajakin saya
kerja di kapal, ya sudah saya ikut dia, di bagian deck hand terus
berhenti… terus masuk sini.”
Menurut pengakuan 15 informan, setelah mereka bekerja sebagai
pekerja seks, mereka selalu berkelit jika ditanya oleh keluarga
dan teman tentang di mana mereka saat ini bekerja. Biasanya,
jawaban yang keluar dari mulut mereka adalah menjadi pegawai
di perusahaan swasta, pelayan di restoran, toko, diskotik atau café.
Meski begitu, tidak sedikit mereka yang bertanya menaruh curiga
dengan penampilan yang diperlihatkan oleh para pekerja seks tersebut.
Dengan penampilan fi sik yang bersih dan pakaian bermerek
membuat orang lain ingin tahu pekerjaan apa yang digeluti para informan.
Bagi para informan, keadaan itu sebenarnya dapat diatasi
hanya dengan jawaban bahwa tuntutan pekerjaan mengharuskan
mereka tampil trendi dan modis karena setiap harinya mereka harus
berhadapan dengan tamu atau konsumen di restoran, café atau
diskotik.
Sebenarnya, tidak terbersit dalam benak mereka untuk bekerja
sebagai pekerja seks, tetapi karena kebutuhan hidup yang harus
dipenuhi, membuat mereka tidak punya pilihan lain selain terjun
ke dunia seks. Sebagaimana pengakuan Wisnu—salah seorang informan
yang sudah 15 tahun berada di Jakarta—dari berbagai profesi
yang ia geluti sampai akhirnya ia memilih menjadi pekerja seks,
pilihan itu lebih dikarenakan penghasilan yang lebih besar dibanding
pekerjaan-pekerjaan sebelumnya yang ia geluti.
Tadinya sih nggak niat kerja kayak gini, cuma kan karena faktor
kebutuhan. Jadi karena kita punya kebutuhan hidupin
keluarga gitu, adek-adek. Sedangkan kita kerja waktu itu di
bank yang penghasilannya minim banget, gitu pas buat makan
doang. Jadi banyak keluhan keluarga.
Alasan yang sama juga dikemukakan oleh para informan
lain, bahwa penghasilan menjadi pekerja seks lebih dari cukup untuk
menghidupi kebutuhan diri sendiri serta mengirimkan sedikit
uang kepada keluarga yang ada di kampung.
Awal mula mereka terjun ke dunia ini menurut para informan,
selain mengetahui dari relasi atau teman, juga didapat dari
membaca iklan lowongan kerja dalam surat kabar Pos Kota yang
isinya menyatakan membutuhkan tenaga pria. Wisnu—yang pertama
kali masuk kerja di panti pijat tahun 2001 langsung disodori
tamu laki-laki–mengemukakan,
Setelah membaca lowongan di koran saya langsung telefon,
apa di sini butuh tenaga pria? Betul katanya. Terus syaratnya
gimana? Yang satu, penampilannya tidak terlalu kurus. Terus
gajinya berapa? Di sini tidak ada gaji yang ada hanya komisi.
Penghasilannya lumayan loh bisa sampai 4-5 juta katanya.
Wah, lumayan juga dari pada kerja sendiri yang biasanya
cuma 800 ribu.
Para pekerja seks juga mengakui ketika pertama kali mereka
bekerja menghadapi konsumen biasanya terlebih dahulu belajar
dari teman-teman seprofesi yang lebih berpengalaman.
Antara Klien, Pelanggan, dan Pasangan Tetap
Seluruh partisipan dalam penelitian ini mengakui mereka
lebih banyak melayani laki-laki dari pada perempuan. Sebagian
besar pria yang mereka layani bekerja di lingkungan perkantoran
sebagai karyawan perusahaan swasta, karyawan bank, pedagang,
pengusaha atau investor, turis, dan kalangan selebritis. Sebagian
kecil informan menyebutkan bahwa mereka pernah juga melayani
mahasiswa dan aparat seperti polisi, kopassus, dan petugas keamanan
swasta. Dari segi etnis, laki-laki keturunan Cina yang tinggal di
Jakarta lebih banyak menggunakan jasa pekerja seks laki-laki untuk
kebutuhan seks mereka daripada laki-laki Indonesia lainnya.
Usia klien laki-laki umumnya berkisar antara 20 sampai 40 tahun
ke atas.
Meski lebih banyak melayani laki-laki, ada juga pekerja seks
yang melayani perempuan dan waria. Mereka bisa tante girang, ibu
rumah tangga, pengusaha atau pekerja seks juga. Rata-rata umur
mereka juga berkisar antara 20 sampai 30 tahunan ke atas. Noer
mengungkapkan pengalamannya, “… tapi ya kadang-kadang
ada juga gitu yang dateng banci gitu… dandan, pake wiglah, gitu
teteknya disuntiklah….”
Noer juga mengungkapkan bahwa klien perempuan biasanya
tidak datang langsung ke panti pijat, tetapi memesan lewat telepon
untuk kemudian bertemu di suatu tempat, biasanya hotel atau
apartemen. “… dia telfon, di hotel ini kamar ini, kan gitu kan disebutin…
kita dateng ke kamar dia. Nah setelah itu ya … kalaupun
tamunya baik, selesai main kita diajak jalan, ada yang begitu. Ajak
makan keluar gitu,” jelasnya.
Beberapa PSL juga diketahui memiliki istri, pacar perempuan,
klien laki-laki dan klien perempuan sebagai pasangan seksual reguler.
Sebagian besar pekerja seks yang mempunyai pacar perempuan
mengaku telah melakukan hubungan seks dengan sang pacar.
Pacar perempuan mereka—yang sebagian besar bekerja sebagai
karyawan swasta atau tidak bekerja—umumnya tidak mengetahui
profesi informan sebagai pekerja seks.
Baik klien biasa maupun klien reguler laki-laki umumnya
memperoleh informasi tentang pekerja seks lewat relasi atau membaca
iklan surat kabar. Bagi para turis dan kalangan selebritis yang
menggunakan jasa para pekerja seks di panti pijat, pada umumnya
mereka mengontak lewat telefon untuk kemudian melakukan
pertemuan di hotel, apartemen atau motel yang ada di Jakarta dan
kawasan Puncak.
Faktor-faktor yang menyebabkan klien menjadi pelanggan
menurut para informan karena berbagai alasan: Selain enak untuk
diajak bertukar pikiran atau sharing, yang lebih utama adalah
karena pelayanan yang dilakukan oleh para pekerja seks tersebut
memuaskan sehingga klien merasa betah dengan satu pekerja seks
saja.
Di pihak PSL sendiri, salah seorang informan mengaku termotivasi
untuk memiliki pasangan tetap karena ingin mendapatkan
pekerjaan lain yang layak yang mungkin akan diperoleh dari
pasangan tetapnya. Selain itu, beberapa informan mengungkapkan
bahwa uang menjadi faktor utama untuk tetap menjalin hubungan
dengan pelanggannya. Ada beberapa informan yang selalu diberi
jatah uang setiap bulan oleh pelanggannya sebagai upaya untuk
tetap menjaga hubungan yang sudah terjalin.
Hal itu terjadi umumnya dengan memenuhi syarat yang diminta
langganannya, yaitu tidak memberikan pelayanan seks kepada
orang lain. Contoh lain dalam hal motivasi untuk memiliki pasangan
tetap adalah kasus Cahyo. Dia mengemukakan bahwa selama
ini ia mempunyai motivasi berbeda untuk terus menjalin hubungan
dengan 2 orang perempuan pelanggannya. Dengan Tante Ivone ia
mengaku ingin mempunyai keturunan yang bagus karena sang
tante mempunyai tubuh yang indah dan cantik. Sedangkan dengan
Dewi ia hanya ingin selalu awet muda karena pasangannya itu
usianya lebih muda dari dirinya—jadi terkait dengan mitos seksual.
Kadangkala, pekerja seks harus melayani sekaligus pasangan
suami isteri. Jika itu terjadi biasanya dilakukan di rumah pasangan
suami istri tersebut atau di hotel. Wisnu bercerita bahwa dirinya
pernah dihubungi oleh seorang perempuan untuk datang ke
rumahnya. Ternyata ketika masuk ke dalam kamar di sana sudah
ada suaminya yang sudah bersiap untuk menyaksikan adegan seks
antara dirinya dengan sang perempuan yang menjadi istrinya. Selama
hubungan seks berlangsung, sang suami hanya menonton saja
sambil mengocok-ngocok kemaluannya. Menurut informan, sang
suami sebenarnya juga sakit karena baru terangsang secara seksual
jika melihat istrinya digauli oleh laki-laki lain.
Praktek Seksual dan Kondom
Kesehatan seksual adalah salah satu isu penting dalam industri
seks khususnya terkait dengan penularan penyakit seksual.
Para pekerja seks sebenarnya mengetahui bahwa kondom merupakan
alat yang dapat mencegah terinfeksinya HIV dan PMS, tetapi
dalam prakteknya justru sebagian besar informan tidak mengguna kan kondom ketika mereka berhubungan seks dengan klien. Alasannya
bisa beraneka ragam dari tidak tersedianya kondom sampai
karena permintaan klien dengan iming-iming bayaran yang menggiurkan
yang membuat mereka bersedia untuk tidak mengenakan
kondom. Kesenjangan antara pengetahuan dan praktek seksual terjadi
karena seksualitas bersifat kontekstual dan multidimensional
sehingga hubungan antara pengetahuan dan praktek menjadi tidak
linear.
Ada empat informan yaitu Sandy, Yosa, Noer, dan Caesar
yang mengaku selalu menggunakan kondom ketika mereka harus
berhubungan seks penetratif dengan klien. Sandy mengaku kalau
dirinya melakukan mandi kucing4, saling ngesong5 dan hanya menyemburit.
Untuk pelayanan oral ia memang tidak menggunakan
kondom tetapi ia selalu melihat kondisi fi sik klien yang akan dioral
apakah penisnya bersih, tidak basah dan berbau. Perihal saat
melakukan ngesong tidak menggunakan kondom Sandy mengungkapkan
bahwa hal itu terjadi karena kemampuan daya belinya yang
kurang. Menurut pengakuannya ketika dulu ia di Surabaya, bayaran
yang ia peroleh lebih dari cukup sehingga ia mampu membeli banyak
kondom. Dengan dua orang pasangan tetap perempuannya ia
juga mengaku selalu menggunakan kondom ketika berhubungan
seks. Jika harus melakukan seks anal kepada klien, Sandy mengaku
selalu menggunakan kondom. Sedangkan untuk disemburit saat ini
ia tidak menginginkannya karena menurut pengalamannya terasa
sakit yang luar biasa.
Informan lain, Yosa juga mengaku kalau dirinya memilihmilih
klien untuk dioral atau mengoral. Kalau penis klien terlalu
besar, ia cenderung untuk tidak mengoral karena mulut akan terasa
capek dan bisa mengalami kejang otot (cramp). Untuk menyemburit
dan disemburit, Yosa akan melakukan jika mood-nya sedang bagus,
dan itu dilakukan dengan selalu menggunakan kondom termasuk
terhadap laki-laki pasangan tetapnya. Untuk disemburit informan
juga melakukannya setelah melihat ukuran alat vital konsumennya.
Ia tidak mau merasakan sakit yang luar biasa jika harus disemburit
dengan penis yang besar.
Jenis pelayanan seksual yang diberikan kepada klien tidak selalu
sesuai dengan keinginan klien. Mengamati tampilan fi sik klien
selalu dilakukan untuk memastikan bahwa kliennya tidak beresiko
menularkan penyakit. Kepercayaan akan tampilan fi sik yang ’bersih’
berarti ’sehat’ cukup menonjol di kalangan pekerja seks. Helmi,
misalnya, menyatakan apabila tamunya kurang berkenan baginya
maka ia berusaha untuk tidak melakukan nyepong6 meski pun tidak
selalu berhasil.
Hal ini bisa dilihat pada pernyataan tiga informan, Helmi,
Sofyan, dan Inung.
“Pilih-pilih saya… nggak deng… tapi ya kayak gitu… kalo
nggak sunat saya nggak suka….Kebanyakan tamu Chinese…
jadi nggak sunat… tapi ya… karena cari uang jadi ya…terpaksa.”
(Helmi).
“Ya kalo untuk customer yang nggak sunat ya… saya tahu itu
beresiko untuk terkena penyakit, ya saya melakukan itu pake
kondom. Ada kan kondom yang menyajikan rasa ini, rasa itu,
saya siapkan kondom itu.…” (Sofyan).
“Saya kalo oral milih-milih orang gitu, saya liat dulu orangnya,
bersih apa nggak gitu. Kalo dia keliatan bersih gitu, kayaknya
gimana gitu, kan orangnya bersih bangetlah pokoknya
nggak kacau banget kalo diliat ya, nggak slengean gitu, ya
mau aja saya, gitu.” (Inung).
Lain halnya dengan Noer, ia tidak mau disemburit dan hanya
mau menyemburit dan mengoral jika melayani klien. Itu pun ia
lakukan dengan selalu menggunakan kondom. Tetapi jika dengan
sang istri, Noer mengaku tidak menggunakan kondom karena ia
tahu persis sang istri bersih dan sehat. Sedangkan Caesar mengungkapkan
bahwa dirinya selalu menggunakan kondom baik itu ketika
oral, menyemburit dan disemburit dengan siapa saja termasuk dengan
laki-laki pasangan tetapnya. Pelayanan oral dilakukan dengan
melihat kondisi fi sik klien terlebih dahulu. Begitu juga ketika mau
disemburit, apabila ukuran penis klien terlalu besar ia cenderung
menolak.
Menolak keinginan klien memang tidak mudah, apalagi bagi
Roger yang relatif masih baru menjadi pekerja seks. Walaupun sesungguhnya
ia tidak mau melakukan seks anal, tetapi masih sukar
baginya untuk menolak secara tegas kepada kliennya.
Anal seks…menghindari itu…cuman kadang sih dipaksa
gitu. Dirayu-rayu ama tamunya. Ya udah, pasrah aja deh…
hahaha… tapi lewat belakang kalo saya mungkin belum. Tapi
kalo saya yang masukin gitu ya kadang-kadang.. tanpa kondom,
karena saya nggak pernah.. ya hampir nggak pernah
sedia kondom. Karena saya nggak … emang niat saya nggak
mau main gitu-gituan….
….kalo masukin saya sebenernya nggak mau… Cuma dirayurayu
gitu. Yaa aku pasrah aja. Aku telentang aja, dia dudukin
punya saya…ya udah, jadi masuk…. Sebenernya saya nggak
mau begitu… Cuma ya dirayu… yaa profesi saya begini ya
udahlah, asal dia bayar lebih ya udahlah.…
Secara umum, para pekerja seks memberikan pelayanan yang
sama terhadap kliennya yaitu: mengoral, disemburit, dan menyemburit.
Ketika mengoral klien, sebagian besar informan tidak menggunakan
kondom. Tidak semua informan bersedia disemburit
oleh klien dengan alasan selain merasa sakit juga lebih berpotensi
terkena penyakit. Seandainya pun mau disemburit hal itu biasanya
dilakukan karena pertimbangan bayaran yang diterima. Bila mau
disemburit, pekerja seks akan melihat keadaan alat vital klien. Jika
besar, tidak disunat, bau dan berlendir, umumnya informan cenderung
menolak, terkecuali jika klien bersedia memenuhi syaratsyarat
yang harus dipenuhi seperti menggunakan kondom dan
memberikan tarif yang memadai. Ada beberapa hal yang juga perlu
dikemukakan di sini, fi sik klien yang enak dipandang mata seperti
cakap dan tubuh atletis seringkali menjadi faktor yang menentukan
bagi para pekerja seks untuk menyemburit atau disemburit, apalagi
jika bayarannya sesuai.
Praktek seks yang aman memang dipengaruhi oleh banyak
faktor, apalagi terhadap pelanggan-pelanggan setia atau pasangan
tetap. Terkadang jika masing-masing sudah saling mengenal, mereka
akan bermain sesuai mood apakah mengoral, disemburit atau
menyemburit. Menggunakan kondom atau tidak, hal itu umum-nya juga tergantung pada mood yang ada. Beberapa informan juga
mengakui, ketika harus berhadapan dengan klien perempuan mereka
cenderung untuk tidak menggunakan kondom. Hal ini terjadi
pada pekerja seks yang bisa merasakan kenikmatan (pleasure) jika
harus berhubungan seks dengan perempuan.
Ada beberapa pekerja seks mengemukakan kalau dirinya
tidak ingin lebih dari tiga kali dalam sehari melayani klien untuk
menjaga kondisi fi siknya. Kalau pun lebih dari tiga kali, menurut
informan ia berusaha untuk tidak sampai mengeluarkan sperma
ketika berhubungan seks. Guna menjaga vitalitas dan stamina beberapa
informan mengaku menkonsumsi vitamin setiap harinya.
Sebagai contoh, Helmi mengkonsumsi Hemaviton setiap hari. Bila
melayani perempuan maka ia minum Viagra atau Irex. Ia mengakui
bahwa melayani klien perempuan lebih disukainya karena lebih
nikmat.
Klien/Pasangan Tetap dari Kucing
Fina (20 tahun)–-berasal dari Purwokerto dan baru setahun
tinggal di Jakarta—tahu bahwa pasangannya masih bekerja sebagai
pemijat di sebuah panti pijat di daerah Kemayoran, Jakarta Utara.
Ia bercerita tentang hubungan mereka yang didasarkan atas cinta
satu sama lain, yang diawali sejak pertama kali mereka bertemu
di rumahnya. Fina mengaku bahwa pacarnya sekarang ini merupakan
satu-satunya pacar yang ia miliki, dan dengan pacarnyalah
ia pertama kali hubungan seks. Keintiman di antara mereka yang
diakuinya didasari atas perasaan cinta tampaknya kurang didasari
atas keterbukaan dari pasangannya terhadap Fina.
Hal ini tampak dari kepercayaan informan bahwa pacarnya
tidak pernah (lagi) melayani seks untuk tamu di panti pijat. “Kata
dia sih enggak, tapi ya saya gak tau. Kalau pengakuan dia dulu
dia suka melakukan seks dengan orang lain gitu. Tapi semenjak ketemu
sama saya dia gak pernah lagi, kecuali sama saya” ungkap
Fina. Pernyataan Fina ini bertolak belakang dengan informasi yang
diberikan pacarnya yang mengaku bahwa sampai sekarang pun
masih sering menerima tamu, karena itu memang sudah menjadi
pekerjaannya.
Informan lain, Ressy (38 tahun) yang berasal dari Semarang,
mengatakan pasangan tetap seksualnya adalah seorang biseks yang
bekerja di sebuah panti pijat. Ia bercerita hubungan dengan pasangannya
yang berusia 13 tahun lebih muda, tidak pernah didasari suka sama suka tetapi lebih karena informan merasa kasihan dan
ingin menolongnya terlepas dari permasalahan masa lalunya ketika
itu. Ressy bercerita karena hubungan mereka tidak atas dasar
cinta, maka ia sering menghindari melakukan hubungan seks dengan
pasangannya, ditambah lagi ia pernah melihat pasangannya ini
menderita PMS,
Saya banyak menghindar karena kalau ke sini (dia) sakit. Karena
dia bekerja di tempat pengobatan begitu panti pijat dan sering
melakukan seksual itulah yang paling sensitif tentang penyakit.
Karena dia itu hanya seks dan seks, dia pernah kena penyakit
seks. Gak tau dia kena sifi lis atau GO jenis penyakitnya.
Setelah ia berpisah dengan mantan suaminya di Semarang,
Ressy mengaku tidak memiliki pasangan seksual lainnya karena
ia merasa menjadi “dingin” terhadap laki-laki. Berbeda dengan
pasangannya sekarang yang lebih didasari oleh rasa kasihan, dengan
suaminya dulu ia memiliki motivasi untuk kepuasan seksual
dan mendapatkan keturunan.
Billy (20 tahun)—yang mengaku dirinya seorang gay—memiliki
pacar laki-laki yang sudah bekerja di perusahaan swasta. Ia
bertemu pertama kali dengan pacarnya di Atrium Senen sepulang
informan dari berenang. Hubungan mereka sudah terjalin selama
1 tahun 6 bulan. Billy mengungkapkan bahwa alasan di belakang
hubungannya itu adalah karena kedewasaan pasangannya, sehingga
ia merasa aman dan terlindungi. “Pengen aja, kayaknya ngemong,
kayaknya gue paling kecil dan dia lebih dewasa, jadi gue
sering sharing cerita apalah…,” tegasnya.
Di samping pacarnya, Billy mengaku masih memiliki pasangan
seks lainnya—sebut saja Doni—yaitu tetangga yang kost di
dekat rumahnya. Motivasi hubungannya dengan Doni adalah karena
keperkasaan Doni dalam urusan seks. Hubungan seksual di
antara mereka sering dilakukan di rumah Billy. Doni jauh lebih tua,
25 tahun darinya. Billy memang selalu mencari pasangan seks yang
jauh lebih tua darinya. Ia juga mengakui pasangan seks lainnya, seorang
gay yang beretnis Jawa yang tinggal bersama pasangan lakilakinya
dan bekerja sebagai montir.
Aries—pria asal Medan yang telah 15 tahun di Jakarta—
sudah menjalin hubungan selama 7 tahun dengan seorang berkebangsaan
Belanda yang tinggal di Jakarta. Informan ini mengung-
kapkan hubungan mereka yang didasari atas kenyamanan karena
pasangannya sering melindunginya, dan sudah terikat atas dasar
hukum yang mereka lakukan di negara Belanda.
Kalo fi sik iya sering ngelindungin. Kalo ekonomi, gue setelah
tiga tahun, empat tahun sempet married kan. Gak married
sih, kita saling kontrak di notaris, bahwa gue pasangan tetapnya,
dia pasangan tetap gue. Tapi nggak di sini. Gue waktu
itu ke Belanda, soalnya di sini belon boleh kan.
Perbedaan usia 20 tahun dengan pasangannya membuat Aries
mencari penyaluran seks lain dengan mencari kucing. “Ohh…
karena pasangan seks gue beda umurnye ama gue 20 tahun, jadi
frekwensi seks kita sedikit jarang. Bukan jarang sih ya, kadang-kadang
dia capek. Pas gue pengen dia capek, penyelesaiannya ya caricari
kucing,” jelasnya. Tempat favoritnya adalah sebuah panti pijat
di jalan Radio Dalam, dan biasanya ia bertemu dan berhubungan
seks dengan kucing di rumahnya.
Berbeda dengan Aries, Emon tidak memiliki pacar dan pemenuhan
kebutuhan seksualnya langsung di panti-panti pijat di Jakarta.
Ia mengaku menggunakan jasa PSL di panti pijat itu semenjak
ia mempunyai penghasilan sendiri. Alasan ia berhubungan dengan
PSL adalah mencari variasi seks saja, karena ia jenuh berhubungan
seks dengan PSL yang berada di jalanan. Saat ini, Emon mengatakan
ia tidak memiliki pasangan tetap dalam arti yang mengikatnya.
Menurutnya, tidak pernah seorang gay memiliki pasangan tetap
karena mereka umumnya cepat bosan dan hubungan mereka tidak
bisa lebih dari sebulan. Ia mengaku hubungan seks dengan berganti-
ganti pasangan sekedar untuk memenuhi selera seksualnya saja.
Oleh karena itu, Emon hanya akan berhubungan seks dengan mereka
yang memiliki penis besar dan berasal kalangan atas. Ia pun
mengaku sering mendapatkan pasangan seksual dari kalangan artis.
Motivasi berhubungan dengan kalangan ini adalah untuk mencari
imbalan uang selain kenikmatan seksual.
Informan lain adalah Hariyadi. Saat ini, dia mengaku memiliki
pasangan tetap, seorang homoseksual, yang bekerja sebagai
PSL di panti pijat. Motivasi ia melakukan hubungan seks dengan
PSL adalah untuk kepuasan seks yang itu tidak bisa diperoleh dari
pacarnya. Ketika awal-awal ia “jajan” di panti pijat, ia mengatakan
salah satu motivasinya adalah belajar mengenai teknik bercinta,
tapi saat ini hal itu lebih untuk mencari kenikmatan.
Kisah Banudoyo memberi gambaran lain tentang hubungan
cinta sesama laki-laki. Dia menceritakan bahwa pasangan tetap yang
pertama adalah seorang laki-laki kaya dari Medan. Pertemuan pertama
mereka terjadi di sebuah diskotik di Medan, dan antara informan
dan pasangannya berselisih umur 5 tahun. Mereka berhubungan
ketika informan masih duduk di bangku SMU, dan hubungan
itu mereka bangun atas dasar cinta selama dua tahun sebelum
akhirnya informan pergi ke Bali. Pasangan tetap yang kedua adalah
seorang laki-laki yang yang ketika hubungan di antara mereka
dimulai, si laki-laki itu masih berstatus sebagai pelajar. Hubungan
mereka berlangsung selama 4 tahun yang berakhir tahun 2001 lalu.
Ia menceritakan kalau pasangan seksnya ini memiliki sifat yang
gampang berhubungan seks dengan siapa saja,
Maksudnya dia bukan kucing karena jaman dulu itu belum
ada istilah kucing. Cuman dia cowok yang boleh dibilang
berondong masih di bawah umur gue, tapi ngewe kiri-kanan….
ngewe kiri kanan terlalu gampang sekali. Boleh dibilang
siapa yang ngajak dia ngewe ya dia ngewe. Karena dia
orangnya ganteng sekali tetapi dia terlalu murah.
Banudoyo mengaku menggunakan jasa seks kucing di
panti pijat, karena merasa kesepian. Ia melakukan hubungan seks
biasanya di hotel, bukan di panti pijat. Secara jujur, informan ini
mengungkapkan kalau menyukai laki-laki yang memiliki ukuran
alat vital yang besar sehingga ia sangat suka berhubungan dengan
orang Arab dan orang bule ketika berada di Bali. Informan ini juga
sangat gampang berhubungan seks di mana saja, seperti di WC
umum Plasa Senayan dan tempat-tempat lainnya.”..Hotel Ibis, Peninsula
terakhir main di Twin Park Royale, Ambhara ehmm Ambhara
empat kali, Peninsula sering banget,” rincinya.
Sementara, Bambang mengaku memiliki pasangan seksual
tetap seorang bapak berusia 50 tahun yang dikenalnya di Atrium
Senen. Pasangannya ini sudah beristeri dan memiliki empat orang
anak. Anaknya yang paling besar sudah kuliah dan yang paling
kecil baru duduk di bangku SMP kelas 2, sedangkan istrinya bekerja
di salah satu instansi pemerintah. Alasan mereka berhubungan
hingga sekarang menurut informan adalah hanya untuk membuat
orang lain senang. Aku paling benci kalo tubuh aku ditawar dengan harga uang..
aku hanya ingin menyenangkan orang saja. Kenapa sih aku
nggak bisa memberikan kebahagiaan ama orang lain, tapi
jangan diembel-embelin uang..tapi ujung-ujungnya tanpa
sepengetahuan aku..dia sering transferin ke aku.”
Dari paparan di atas terlihat bahwa klien/pasangan lakilaki
dari kucing cenderung memiliki lebih dari satu pasangan seksual.
Kucing lebih sering dianggap sebagai tempat mencari variasi,
pengalaman, atau kepuasan seksual atau mengatasi rasa kesepian.
Pasangan seksual perempuan—Fina dan Ressy—tampaknya tidak
memiliki pasangan seksual lainnya dan membangun relasi dengan
PSL atas dasar ikatan emosional. Hal ini juga menunjukkan bahwa
gender juga menjadi salah satu faktor yang menentukan seseorang
dalam menjalin sebuah hubungan.
Seks itu Kenikmatan
Bentuk hubungan seks yang banyak dilakukan oleh pasangan
tetap dan klien PSL adalah oral, anal, vaginal, dan masturbasi. Bagi
informan yang mengaku dirinya seorang gay, biasanya seks anal
dan oral sebagai bentuk yang paling sering mereka lakukan. Berbeda
dengan pasangan yang berjenis kelamin perempuan, dua orang
informan mengatakan hubungan seks yang biasa dilakukan adalah
seks vaginal dan oral. Sedangkan seks anal tidak disukai oleh informan
perempuan dan satu informan laki-laki yang mengidentifi kasi
diri sebagai heteroseksual.
Billy mengaku lebih menyukai dioral ketimbang ia mengoral
pasangannya, karena merasa lebih nikmat jika orang lain yang
melakukan kepadanya. Ia menjelaskan selain kepada kedua pasangan
tetapnya ia enggan mengoral pasangan seksual lainnya. Informan
menceritakan seks oral hanya dilakukannya ketika situasi sepi
dan tenang serta ia berada dalam kondisi sehat. Ketidaksukaan
melakukan seks oral terhadap pasangannya juga diakui oleh Cecep
dengan alasan sering merasa mual. Tetapi toh ia tetap melakukan
karena pasangan tetapnya menyukai seks oral.
Emon mengungkapkan bila berhubungan dengan PSL dirinyalah
yang mengoral pasangannya yang kemudian dilanjutkan dengan
menyemburit PSL itu. informan mengaku suka melakukan oral
hanya karena untuk memenuhi fantasi seksualnya untuk mencapai
kepuasan saja, berikut katanya,
Eee…itu semuanya hanya untuk memenuhi fantasi seksual
saya. Jadi dalam pengertian orang-orang mendapatkan kepuasan
seks itu bukan dalam pengertian orgasme. Bukan dalam
pengertian dia ngejrot, pejunya keluar, terus dia mengalami
kepuasan. Ada yang seperti itu juga, tapi kalau saya nggak.
Saya lebih banyak fantasi seks, sexual fantasy. Jadi kepuasan
saya pada saat saya mengoral itu.
Beberapa informan, Juki dan Himawan, menyukai seks oral
secara bergantian atau dikenal sebagai posisi 69. Himawan juga
menjelaskan kalau oral seks tidak pernah dilakukannya dengan
kucing, seperti halnya Hariyadi yang hanya melakukan seks oral
dengan pasangan pribadinya, tidak dengan orang lain.
Pilihan untuk mengoral atau dioral tampak ditentukan oleh
beberapa faktor yang saling berkaitan seperti identitas seksual,
hubungan antarpribadi, hasrat akan kenikmatan seksual serta situasi
dan kondisi ketika hubungan seks berlangsung. Sebagai contoh,
Chandra mengatakan dialah yang lebih sering mengoral pasangannya,
karena dia yang “membeli” dan juga lebih karena dia merasa
menjadi perempuannya. Atau Banudoyo yang hanya bersedia mengoral
jika pasangannya itu kaya dan ganteng. Ia pasti akan mengoral
semua orang asing dan Arab karena mereka memiliki ukuran
penis yang besar sehingga memberikan kenikmatan baginya.
Hubungan seks vaginal dilakukan oleh 3 pasangan tetap PSL,
yang dua di antaranya adalah perempuan. Fina mengaku paling
suka melakukan seks vaginal karena ia mengaku lebih nikmat. Dalam
situasi tertentu, Ressy dan Billy juga melakukan masturbasi.
Ressy melakukannya sendiri, sedangkan Billy biasanya melakukan
dengan pasangannya.
Keputusan melakukan hubungan seks anal juga ditentukan
oleh beberapa faktor. Januar mengaku ia selalu berperan pasif dalam
melakukan seks anal sehingga ia tidak pernah menyemburit
karena ia sulit untuk ereksi (konak). Hal itu mungkin terkait dengan
sifat kewanitaannya yang lebih dominan dalam dirinya. Hal yang
sama juga diungkapkan oleh Banudoyo—yang selalu bergairah bila
melihat orang asing dan orang Arab—yang lebih sering berperan
sebagai “perempuan” dalam relasi seksual. Selain itu Januar mengungkapkan,
“Ya… kurang suka aja, kurang bergairah (jika me-nyemburit). Enakan disemburit kayaknya bisa lihat ekspresi mukanya
gitu”. Sementara, Cecep selalu mencari kucing yang agresif
karena ia lebih merasa sebagai perempuan. Apalagi ia sudah membayar
kucing, maka ia tidak harus aktif menyemburit dalam berhubungan.
Sikap pasifnya ini juga dilakukan terhadap pasangan
tetapnya.
Menempong pasangan seksualnya lebih disukai oleh Emon
dan Juki karena pengalaman ditempong menimbulkan rasa sakit
bagi mereka. Oleh karena itu, ketika mencari kucing mereka menginginkan
kucing yang bersedia ditempong. Sekalipun lebih suka menyemburit
pasangan seksualnya, Hariyadi sangat memperhatikan
kebersihan diri pasangannya. Dia tidak mau berhubungan seks
apabila kucing yang dipilihnya habis melayani orang lain. Kriteria
lain yang diungkapkan oleh Chandra, Agung dan Himawan adalah
apabila pasangan seksualnya memenuhi selera mereka—seperti
ganteng dan bersih—barulah mereka mau menempong. Sementara
Andre dan Bambang melakukan seks anal dengan pasangannya secara
bergantian, yaitu menyemburit dan disemburit.
Dari Minyak Goreng Sampai Kondom
Tidak semua klien dan pasangan tetap PSL yang diwawancarai
menggunakan kondom ketika berhubungan seksual untuk
melindungi diri mereka dari infeksi penyakit. Perilaku penggunaan
kondom atau tidak oleh para informan tidak selalu berkaitan dengan
pengetahuan tentang manfaat kondom dan resiko yang bisa
mereka dapatkan bila tidak menggunakan, tetapi dengan berbagai
macam alasan yang akan dipaparkan berikut ini.
Dalam melakukan hubungan seks oral dan vaginal, Fina mengaku
tidak pernah menggunakan kondom, karena dia dan pasangannya
lebih menyukai yang alami demi alasan kenikmatan. Selain
itu, ia mengaku air mani pasangan seksualnya dikeluarkan di luar
vagina (coitus interruptus). Fina menuturkan lebih lanjut,
Ya enggak kenapa-kenapa (tidak menggunakan kondom).
Takutnya pakai gitu-gitu malah ada mengakibatkan penyakit
gitu, walaupun gak ini gitu yah…katanya kalau itu bisa
mencegah gitu yah, misalnya air mani nggak keluar, tapi kalau
bagi saya sih biasa saja.
Pernah suatu saat pasangan tetapnya membawa dan menggunakan kondom tanpa sepengetahuannya, namun Fina tidak menyukai tindakan
pasangannya tersebut. Setelah kejadian tersebut, mereka tidak pernah lagi
menggunakannya.
Emon—yang bergelar MBA dari luar negeri—secara terbuka
mengatakan tidak menggunakan kondom saat berhubungan seks
dengan siapa pun. Selama ini banyak kucing yang pernah berhubungan
dengannya tidak menggunakan kondom dan ia tidak pernah
menawarkan pasangannya untuk menggunakan kondom. Informan
cukup konsisten mengatakan bahwa ia tidak pernah takut dengan
penyakit AIDS karena itu untuk semua kategori pasangan ia tidak
pernah menggunakan dan tidak mau pasangannya menggunakan
kondom.
Keengganan menggunakan kondom juga terjadi pada Teguh.
Sekalipun terdapat kondom dengan beragam rasa, Teguh mengatakan
rasanya tetap aneh sehingga ia tidak menyukainya bila melakukan seks
oral dengan kondom. Di samping itu, pasangan tetapnya juga tidak
menginginkan penggunaan kondom. Tatkala berhubungan seks dengan
kucing, ia jarang melakukan seks anal sehingga tidak memerlukan
kondom. Tambahan pula, ia merasa tahu lingkungan pergaulannya.
Pelicin yang biasa dipakai Teguh ketika sedang melakukan hubungan
seks adalah Aquagel, baby oil dan Vaseline. Teguh selalu menggunakan
pelicin karena berhubungan seks anal itu sulit untuk lancar disebabkan
anus tidak mengeluarkan cairan sendiri.
Banudoyo mengemukakan tidak pernah menggunakan kondom
jika sedang “main” dengan orang. Ia menjelaskan bahwa kucing
yang melakukan penetrasi kepadanya tidak pernah menggunakan
kondom dan mereka juga tidak pernah menawarkan kepadanya.
Keputusan tidak memakai kondom dalam hubungan seksual lebih
banyak ditentukan oleh dirinya sendiri. Oleh karena itu, ia selalu
memerlukan pelicin dalam melakukan seks anal.
Pilihan untuk tidak pakai kondom saat oral seks—karena bau
karetnya tidak menyenangkan—tetapi selalu pakai kondom saat
anal seks dilakukan oleh Billy terhadap pasangan tetapnya, Benny,
dan pasangan seksual lainnya. Sekalipun ia mengenal baik pasangan
seksualnya, tetapi selalu ada ketakutan akan terinfeksi HIV sehingga
kondom adalah keharusan baginya. Inisiatif penggunaan kondom
selalu datang dari dirinya. Apa yang dilakukan Billy, juga berlaku
bagi Ressy dengan alasan pencegahan dan takut terkena PMS.
Apalagi, mengingat ia pernah mengetahui pasangan tetapnya pernah
menderita PMS yang tidak ia ketahui secara pasti apa penyakitnya. Masalah kualitas kondom produksi dalam negeri menjadi
alasan bagi Chandra untuk tidak menggunakannya saat seks oral.
Baginya kondom buatan lokal kecil dan kasar sehingga malah
menyebabkan sakit, tidak seperti buatan Amerika yang enak rasanya,
tipis dan longgar. Meskipun demikian, Chandra menggunakan
kondom bila berhubungan seks bukan dengan pacarnya walau
pun tidak selalu. Dengan PSL, apabila secara fi sik terlihat bersih, ia
tidak akan menggunakan kondom. Ia selalu menggunakan pelicin
ketika menggunakan kondom untuk menghindari lecet karena kulit
sensitif. Jenis pelicin yang dipakai adalah minyak goreng (Filma) dan
hand body. Lebih jauh Chandra mengungkapkan, “Kadang-kadang
juga pakai minyak yang licin. Minyak Filma itu kan lentur, pakai
hand body…kan keringnya seketika doang..ya cepet keringnya.
Nanti malah lecet kan, kalau pakai minyak kan dia lentur. Jadi
sediakan aja minyak.”
Bambang mempunyai perilaku seksual yang agak berbeda
karena ia selalu menggunakan kondom ketika dioral dan akan
menolak jika pasangannya tidak mau menggunakannya. Sebaliknya,
dalam seks anal, Bambang kadang-kadang saja menggunakan
kondom bergantung pada penampilan fi sik pasangannya—
khususnya bila PSL—dan negosiasi di antara mereka, dan biasanya
hanya menggunakan pelicin.
Adanya hubungan yang melibatkan emosi dan trust, seringkali
mempengaruhi pilihan untuk menggunakan kondom atau tidak.
Seperti Agung yang tidak pernah pakai kondom dalam seks anal
dengan pacarnya, tetapi selalu menggunakannya bila dengan
orang lain. Sekali pun ia kurang menyukai kondom namun untuk
menghindari lecet pada penis maka ia menggunakannya. Demikian
juga dengan Himawan yang mempercayai pasangan tetapnya tidak
pernah selingkuh karena mereka sudah menjalin hubungan emosional
cukup lama. Kondom baru digunakannya ketika berhubungan seks
oral dan anal dengan orang lain.
Mengingat beberapa pasangan seksualnya adalah perempuan,
maka Januar sering tidak menggunakan kondom dengan
alasan lebih nikmat dan langsung. Oleh karena vagina secara alamiah
mengeluarkan cairan sehingga tidak diperlukan pelicin saat
hubungan seks dilakukan. Kalaupun sesekali Januar menggunakan
kondom, maka keputusan itu semata-mata berkaitan dengan
kekuatirannya bila pasangan seksualnya menjadi hamil nantinya.
Paparan di atas memperlihatkan bahwa penggunaan kondom di kalangan klien dan pasangan tetap PSL ditentukan oleh beberapa
faktor seperti: Trust dalam hubungan antar pribadi, pentingnya
kenikmatan seksual (sexual pleasure), bentuk hubungan seks (oral
atau anal), kesadaran tertular penyakit atau terjadinya luka, dan negosiasi
dengan pasangan seksualnya.
Perempuan, Waria, Banci, Gay atau….
Identitas seksual seseorang merupakan sesuatu yang bersifat
cair, terkadang membingungkan, dan tergantung pada konteks sosial
di mana ia berada. Pasangan tetap dan klien PSL yang berpartisipasi
dalam penelitian ini memberikan jawaban yang bervariasi
ketika diajukan pertanyaan mengenai identitas seksual mereka.
Andre dan Januar mengaku identitas seksual mereka masing-
masing sebagai biseksual dan heteroseksual. Sementara dari
enam informan yang mengaku dirinya sebagai perempuan, empat
di antaranya berjenis kelamin laki-laki. Mereka adalah waria yang
mengaku dirinya lebih sebagai perempuan. Sedangkan Bambang,
yang juga berjenis kelamin laki-laki tetapi memiliki sifat seperti
perempuan, lebih suka menyebut dirinya banci. Namun ia membebaskan
orang lain mau memanggilnya apa. Bambang menjelaskan
perbedaan waria dan banci yaitu banci adalah seorang lakilaki
yang kadang berpenampilan laki-laki kadang berpenampilan
perempuan, sedangkan waria adalah laki-laki yang benar-benar
merasa perempuan dan selalu berpenampilan perempuan.
Billy, Cecep, Teguh, Chandra, Banudoyo, dan Juki menyatakan
diri mereka sebagai gay. Mereka itu, kecuali Juki, mengaku
memiliki sifat feminin yang dominan di dalam diri mereka. Sifat
feminin itu diakui oleh beberapa informan berpengaruh terhadap
perilaku seksual mereka yang cenderung pasif dan tidak agresif.
Mereka yang memiliki sifat seperti ini lebih memilih disemburit atau
dioral oleh pasangan seksualnya. Bahkan bagi sebagian dari mereka,
sifat feminin yang menguasai dirinya berpengaruh terhadap
pemilihan pasangan seksual mereka. Mereka biasanya berusaha
mencari pasangan yang lebih agresif dan macho. Chandra menjelaskan
dirinya sebagai gay feminin sebagai berikut, “Soalnya mereka
(pasangan-pasangannya) kan badannya lebih lebar, apa yah… lebih
jantan sementara gue kan orangnya lemah lembut.”
Sementara, Juki—dengan pengakuan sebagai gay—lebih melihat
dirinya tetap dengan sifat-sifat sebagai lelaki (maskulin) dalam
arti perilaku seksualnya pun lebih banyak berperan sebagai
seorang dengan gender laki-laki, yaitu agresif dan aktif sehingga ia
lebih sering menyemburit atau mengoral pasangannya.
Gay sebagai sebuah identitas dimaknai secara berbeda oleh
setiap informan yang mengaku dirinya gay. Bagi Billy, gay adalah
seks antara cowok dengan cowok. Pendapatnya didasari karena
sekslah yang menjadi orientasi hubungan antar gay jika pertama
kali mereka bertemu.
Kalau gay itu kayaknya seks cowok sama cowok kan. Kalau
pertama kali ketemu itu yang diinginkan itu pertama seks.
Semua gay di seluruh dunia deh begitu, kalau tau dia itu gay
pasti maunya itu “tidur”. Gue juga gitu kalau melihat…ih
lucu banget nih dia kalau ngeseks sama gue, gitu kalau gue.
Kalau udah bosen itu udah, biar dia mau lucu kayak gitu kalau
dia udah bosen itu udah tinggal gitu aja. Jadi orientasinya
seks biasanya.
Ia juga melihat gay itu adalah sebagai kehidupan yang
menyimpang dari apa yang umumnya terjadi di masyarakat. Pendapat
ini disetujui oleh Banudoyo yang juga menjelaskan bahwa gay itu
berbeda dengan waria, karena waria menurutnya “main” sama ‘lakilaki
asli’ bukan dengan gay dan sebaliknya pun demikian.
Sementara, Cecep memandang gay sebagai hubungan sesama
laki-laki, dengan kepribadian laki-laki, tapi tidak menjadikan
mereka perempuan hanya karena sifat femininnya. Baginya tidak
ada perbedaan antara gay dan homoseksual. Teguh dan Chandra
berpendapat gay itu adalah laki-laki yang mencintai atau menyukai
laki-laki.
Kesimpulan
Penelitian ini mengungkapkan betapa luasnya jejaring seksual
laki-laki dan jelas sekali seorang laki-laki cenderung memiliki
lebih dari satu pasangan seksual sekalipun ia bukanlah pekerja seks.
Bagi PSL secara sederhana ada dua kategori pasangan seksual yaitu
pasangan tetap dan klien yang membayar jasa pelayanan seksual.
PSL bisa mempunyai pasangan tetap perempuan dan/atau laki-laki
yaitu pacar atau pun istri.
Klien PSL jelas sekali memiliki jejaring seksual yang cukup
luas, karena mereka cenderung untuk berganti-ganti pasangan
seksual, baik laki-laki atau pun perempuan. Seks oral antara PSL
dengan klien lebih sering tidak menggunakan kondom karena
kebanyakan klien tidak menyukainya. Dalam semburit kondom
cukup sering digunakan meskipun tergantung kesepakatan dengan
klien. Kebanyakan PSL tidak menyukai posisi bott om karena lebih
menyakitkan dan lebih menyukai posisi top7. Persepsi terhadap
resiko penyakit cukup tinggi, sehingga PSL yang mempunyai istri
atau pacar perempuan ketika melakukan hubungan seks cenderung
menggunakan kondom. Sementara, klien PSL tidak konsisten
menggunakan kondom, khususnya dalam semburit. Kebanyakan klien
PSL menekankan kenikmatan seksual sebagai alasan berhubungan
dengan PSL. Adanya rasa percaya dan hubungan emosional antara
klien dengan pasangan seksual lainnya menjadi salah satu faktor
yang menyebabkan jarangnya penggunaan kondom.
Dalam konteks penggunaan kondom, satu pola yang muncul
di antara PSL dan pasangan seksualnya adalah pentingnya
variabel trust atau kepercayaan yang ada di antara dua individu
dalam hubungan seksual. Ikatan emosional dan psikologis, adanya
komitmen antara dua individu, dengan kuat bisa menepis persepsi
dan kekawatiran terhadap risiko penyakit. Berbarengan dengan
variabel trust ini, variabel kenikmatan seksual (sexual pleasure) tetap
merupakan unsur yang penting dalam seksualitas laki-laki.
Pendekatan sosio-historis dalam penelitian yang lebih mendalam
untuk mengetahui norma seksualitas dan ideologi gender
perlu dilakukan. Penelitian ini menunjukkan bahwa adanya PSL
berkaitan erat dengan berkembangnya kehidupan gay di kota-kota
besar di Indonesia. Klien PSL umumnya berasal kelas menengah ke
atas yang cukup berpendidikan.
IRWAN M. HIDAYANA: Dosen tetap Departemen Antropologi
dan peneliti pada Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI.
RUJUKAN
Altman, Dennis. 1999. “Foreword.” dalam P.Aggleton (ed.). Men
who sell sex. London: UCL Press, hlm. xiii-xix.
Atmodjo, Kemala. 1986. Kami Bukan Lelaki. Jakarta: Grafi ti.
Jones, Gavin, Endang Sulistyaningsih, dan Terence Hull. 1997. Pelacuran
di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Khan, Sivananda. 1999. “Through a Window Darkly: Men who sell
sex to men in India and Bangladesh.” dalam P. Aggleton (ed.)
Men who sell sex. London: UCL Press, hlm. 195-212.
Koentjoro. 2004. On the Spot: Tutur dari sang Pelacur. Yogyakarta:
Tinta.
Koeswinarno. 1996. Waria dan penyakit menular seksual. Yogyakarta:
Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gadjah Mada.
Murray, Allison. 1991. No Money No Honey: A Study of Street Traders and
Prostitutes in Jakarta. Singapore: Oxford University Press.
Purnomo, Tjahjo dan Ashadi Siregar. 1983. Dolly: Membelah Dunia
Pelacuran Surabaya. Jakarta: Grafi ti Pers.
Sedyaningsih-Mamahit, Endang R. 1999. Perempuan-perempuan Kramat
Tunggak. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Sudarsono. 1998. Gigolo dan Seks: Risiko penularan, pemahaman dan
pencegahan PMS. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan
Universitas Gadjah Mada
Sumber : Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Filed under: SEKSUALITAS |
JANGAN LUPA DI SUBSCRIBE DAN DI FOLLOW YA GAESS Youtube : Mas Say Laros Banyuwangi Instagram : @massaylaros Facebook : Mas Say Laros Banyuwangi