Pacaran Haram? Kata Siapa ?

Pacaran Haram? Ya, Kalau…

Jangan pacaran. Pacaran itu haram. Yang boleh adalah ta’aruf. Ini adalah semacam “ajaran” baru yang sering saya dengar akhir-akhir ini. Bahkan, saat ini, ada gerakan anti-pacaran. Yang sedang pacaran, dianjurkan buru-buru nikah saja. Jika tidak mau, langsung putuskan saja.

Kecemasan atas fenomena pacaran ini, saya kira, reaksi yang alamiah saja terhadap gejala hubungan laki-laki dan perempuan yang dianggap terlalu bebas saat ini, terutama di kota-kota besar. Hubungan semacam itu dipandang sebagai bagian dari pengaruh budaya Barat, westernisasi. Barat, di mata sebagian kalangan Islam, diidentikkan dengan free-sex dan hubungan yang “promiscuous”.

Seturut dengan makin besarnya pengaruh gerakan Islam konservatif-fundamentalis di seluruh dunia Islam sekarang, muncullah sikap-sikap yang resisten terhadap Barat. Barat dianggap sebagai cerminan dari dunia yang secara moral dekaden, merosot. Pacaran adalah bagian dari free-sexism yang khas peradaban Barat. Karena itu harus ditolak.

Gerakan anti-pacaran ini tentu tidak serta-merta mencerminkan gejala konservatisme dan fundamentalisme. Mungkin  ini sikap alamiah saja yang menggambarkan kekhawatiran orang tua atas pengaruh buruk dari urbanisme atau kebudayaan kota yang cenderung bebas.

Siapapun yang memiliki anak perempuan tentu saja was-was atas bayangan-bayangan buruk tentang kemungkin anak mereka terjatuh dalam hubungan yang bebas. Ini instink yang alamiah. Sebagian didorong oleh motif keagamaan. Sebagian yang lain, reaksi normal dari seorang tua yang sangat cemas tentang prilaku anak-anaknya. Saya pun juga memiliki instink seperti itu.

Tetapi, betulkah pacaran haram? Tentu saja jawabannya: tergantung. Dalam bahasa fkih atau hukum Islam: di-tafshil. Pacaran yang seperti apa dan bagaimana. Tidak ada larangan dalam agama, terutama Islam, terhadap pacaran. Tak ada ayat atau hadis yang secara eksplisit melarangnya.

Dan sesungguhnya untuk mengetahui apakah pacaran itu haram atau tidak, kita tak perlu jauh-jauh merujuk ke Qur’an atau hadis. Kita diberikan nalar dan akal oleh Tuhan. Mari kita pakai untuk menganalisis fenomena ini. Mensyukuri nikmat akal adalah dengan cara memakainya, bukan mengistirahatkannya dan mencurigainya macam-macam. Itu justrukufur atau mengingkari nikmat yang dikecam oleh Qur’an.

Apa hakikat pacaran itu? Pacaran adalah tahap pra-nikah yang memungkinkan kedua lawan jenis untuk saling mengenal. Dalam bahasa Arab, saling mengenal itu adalah ta’aruf.

Jadi, sodara-sodara, sesungguhnya pacaran dan ta’aruf itu sama saja. Pacaran bahasa Indonesia. Ta’aruf bahasa Arab. Tetapi karena ada persepsi bahwa yang berbahasa Arab itu Islam, maka ta’aruf itu halal, sementara pacaran tidak. What a funny logic!

Dalam hukum Islam, dikenal suatu proses pra-nikah yang disebut dengan “khithbah”. Istilah berbahasa Arab ini mempunyai akar kata yang sama dengan “khuthbah”, seperti dalam frasa khutbah Jumat, misalnya.

Secara sederhana, kedua istilah itu berkaitan dengan kegiatan bicara dan ngomong. Khithbah adalah proses pra-nikah di mana kedua lawan jenis yang hendak membangun hubungan serius saling bicara untuk mengenal sebelum memutuskan untuk (ehem!) mengerek janur kuning dan nikah.

Manusia jelas berbeda dengan binatang. Saya bukan seorang botanis. Setahu saya, binatang tak membutuhkan proses lama untuk saling mengenal sebelum akhirnya sepakat melakukan hubungan badan. Manusia, sebelum sampai ke “puncak” itu, butuh proses lama, saling mengenal, saling menjajagi. Tak bisa, meet-kiss-f*ck.

Pernikahan yang langgeng dan harmonis jelas mempersyaratkan kedua pasangan saling tahu karakter pihak sebelahnya. Pernikahan bukan hubungan sehari-dua hari, melainkan perkara serius, — “mitsaq ghalidz” (dalam bahasa Quran),– yang berlangsung lama, bahkan seumur hidup. Hubungan yang seperti itu membutuhkan persiapan yang matang. Tidak bisa hanya kenal sebentar, lalu naik pelaminan.

Tentu saja ada kasus-kasus tertentu di mana orang kenal sebentar lalu nikah. Bahkan, ada kasus perjodohan ala Siti Nurbaya yang sudah diatur oleh orang tua (arranged marriage), tanpa kedua pasangan diminta pendapatnya. Ada. Tetapi itu bukan praktik umum. Hanya perkecualian. Yang umum dan logis: seorang yang mau menikah butuh periode tertentu untuk saling tahu dan mengenal. Panjang pendeknya, tergantung sikon.

Walau tidak wajib, tapi saya mengatakan bahwa tahap saling kenal itu adalah sesuatu yang harus dilakukan, untuk menghindarkan kemungkinan buruk di masa depan. Lebih baik pacaran putus di tengah jalan, daripada putus jalan di tengah pernikahan karena tak saling mengenal dengan baik sebelumnya.

Dengan demikian pacaran yang diniatkan untuk saling mengenal pasangan secara baik, untuk membangun masa depan rumah tangga yang harmonis, dan dilakukan dengan cara yang tidak melanggar norma agama, jelas boleh. Bukan hanya boleh, tapi harus, untuk kemaslahatan pernikahan di masa depan. Tak penting anda menyebutnya pacaran atau ta’aruf. Itu hanya beda bahasa saja. Jangan tertipu oleh istilah.

Jika pacaran dilakukan dengan niat buruk untuk menipu pasangan, sekedar untuk melampiaskan nafsu “pradator” laki-laki/perempuan, tentu saja tidak boleh. Tak perlu fatwa agama. Dengan nalar biasa saja, kita bisa mengatakan pacaran dengan “sinister intent” semacam itu jelas tidak layak dilakukan.

Jadi pacaran haram? Ya, kalau dilakukan dengan motif seperti itu. Wallahu a’lam.[]

Sumber :

http://islamlib.com/gagasan/qaislam/pacaran-haram-ya-kalau/