Tasyakuran Wisuda Sahabat/I PMII Rayon Ekonomi Moch ‘’Hatta’’ UIN MALIKI Malang

Kamis,11 Oktober 2012

Salam Pergerakan !!!

Selamat Datang Di Padepokan Mas Say Laros…

                  Seperti hari-hari biasanya Kantor Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Ekonomi Moch ‘’Hatta’’ Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim (MALIKI) Malang terlihat begitu ramai,Hal ini bukan hanya karena malam ini malam jum’at sehingga sahabat-sahabati melaksanakan kegiatan tahlilan namun memang ada agenda lain diluar agenda mingguan yaitu berupa tasyakuran calon wisuda khususnya wisudawan-wisudawati PMII Rayon ekonomi moch hatta.

                  Acara yang dimulai pukul 07:00 PM ini dikemas dengan sangat sederhana tetapi meskipun demikian saya melihat begitu antusiasnya sahabat-sahabati untuk bergabung merayakan tasyakuran wisuda kakak-kakak tingkatnya. Seperti pada acara-acara lainnya setelah seluruh sahabat-sahabati berkumpul acara baru dimulai dengan bacaan al-fatihah dengan harapan seluruh rangkaian acara tasyakuran ini berjalan dengan sangat lancer.

                  Alhamdulilah moment rutinan setiap tahun ini dihadiri oleh beberapa kader rayon ekonomi moch hatta yang terdiri dari pengurus rayon,mantan ketua rayon,manta pengurus,kader serta beberapa alumni dan calon wisudawan yang akan di wisuda besok sabtu 13 Oktober 2012.

                  Dalam rangkaian acara tasyakuran ini selain di isi dengan ramah tamah sekaligus pemotongan tumpeng dan makan bersama,acara ini juga diisi dengan kesan dan pesan calon wisudawan yang hadir pada malam hari ini,tak terkecuali Mas Say Laros juga menyampaikan sedikit kesan selama bergabung dengan PMII rayon ekonomi moch hatta.

                  Jujur,banyak hal yang tidak bisa saya ungkapkan di sini karena memang saya merasa banyak mendapatkan ilmu selama bergabung di PMII. Yang jelas PMII adalah organisasi pertama Mas Say Laros yang berbasis pergerakan karena memang selama ini khususnya sejak SD-SMA Mas Say Laros sudah aktif dibeberapa organisasi tetapi organisasi tersebut hanya berkutat pada organisasi SENI DAN BUDAYA yang tentunya visi misinya sangat jauh berbeda dengan organisasi pergerakan.Mudah-mudahan PMII Tambah Maju dan menuju kea rah yang positif.

      SALAM PERGERAKAN !!!

Selamat Ulang Tahun PMII Yang KE-52 (17 April 1960 – 17 April 2012)

Padepokan Mas Say Laros 

Mengucapkan

Selamat Ulang Tahun 

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia

Yang Ke-52

Semoga PMII Tetap Jaya

Tangan Terkepal Maju Kemuka

(17 April 1960)

Kilas Balik Sejarah PMII

PMII adalah bagian dari sejarah Indonesia. Mulai dari awal proses kemunculannya, proses lahirnya sampai proses perjalanannya hingga sekarang, PMII telah menjadi saksi dari sejarah perjalanan Indonesia.

Selain itu, PMII juga sejarah bagi dirinya sendiri. PMII pernah jaya dan pernah terpuruk. PMII pernah bersitegang akibat perdebatan tentang politik praksis dan PMII pernah ditendang dari wilayah strategis. Semua itu bagian dari sejarah yang tak terpisahkan dari perjalanan PMII.

Dalam proses pemunculannya, PMII tidak bisa dipisahkan dari kondisi sosial politik tahun 1950-an. Ketika itu, telah muncul organisasi-organisasi kepemudaan seperti HMI (ketika itu underbow Masyumi) SEMMI (dengan PSII) KMI (dengan PERTI) IMM (dengan Muhammadiyah) dan HIMMA (dengan Wasillah).

Banyaknya organisasi tersebut, membuat anak-anak NU ingin mendirikan wadah yang bernaung di bawah panji bola dunia. Akhirnya, pada tahun 1955 di dirikanlah IMANU (Ikatan Mahasiswa NU) oleh tokoh-tokoh PP-IPNU. Namun, IMANU tidak berumur panjang. Sebab, PBNU tidak merestui dengan alasan yang sangat logis: “IPNU didirikan baru tanggal 24 Februari 1954 dan dengan pertimbangan waktu, pembagian tugas dan efektifitas organisasi”.

Tetapi sampai pada Kongres IPNU ke 2 (Awal 1957 di pekalongan)dan ke 3 (akhir 1958 di Cirebon) NU masih memandang belum perlu adanya organisasi kemahasiswaan. Baru kemudian pada tahun  1959 IPNU membuat departemen yang kemudian dikenal dengan Departemen Perguruan Tinggi IPNU. Satu tahun kemudian setelah  Departemen Perguruan Tinggi IPNU ini dianggap tidak efektif dan tidak cukup menampung aspirasi mahasiswa NU, maka pada Konprensi Besar IPNU (14-16 Maret 1960) di Kaliurang sepakat mendirikan organisasi tersendiri.

Rekomendasi ini dimanfaatkan dengan baik oleh 13 tokoh, yakni; Chalid Mawardi (Jakarta), Said Budairy (Jakarta), M. Shabih ubaid (Jakarta), Makmun Syukri BA. (Bandung), Hilman (Bandung), H. Ismail Makky (Yogyakarta), Munsif Nachrawi (Yogyakarta), Nurilhuda Suady HA. (Surakarta), Laily Mansyur (Surakarta), Abdul Wahab Djailani (semarang), Hisbullah Huda (Surabaya), M. Chalid Marbuko (Malang), dan Ahmad Husein (Makasar). Pada tanggal 14-16 April 1960, mereka menggodok organ baru di TPP Khadijah Surabaya. Akhirnya, tanggal 17 April 1960 lahirlah organisasi mahasiswa NU yang diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Tidak berselang lama, tahun 1961 PMII melaksanakan Kongres I di Tawangmangu, Solo yang menghasilkan deklarasi Tawangmangu. Dari sini dimulailah kiprah PMII dalam percaturan nasional. Tahun 1963 kongres ke-2 PMII digelar di Yogyakarta. Kongres ini menegaskan kembali esensi Deklarasi Tawangmangu yang dikenal dengan Penegasan Yogyakarta. Tahun 1965 PMII mengadakan TC II di Megamendung, Bogor untuk menyikapi problem kehidupan masyarakat dan negara.

Pada masa ini, terjadi gejolak yang mempengaruhi situasi nasional. Mahasiswa menyikapinya dengan berbagai aksi dengan berbagai organ taktis seperti KAMI dan KAPPI. Dalam proses ini, PMII mengambil tempat terdepan. Bahkan, Ketua Umum PB PMII, Zamroni menjadi ketua KAMI/KAPPI dari awal sampai akhir berdirinya.

Dalam perjalanan selanjutnya, PMII merasa tidak strategis dan mengalami keterbatasan langkah di bawah naungan NU –ketika itu berfusi ke PPP. Maka pada tahun 1972, PMII mendeklarasikan Independensi dari NU dalam ajang Munas di Murnajati. Deklarasi ini terkenal dengan Deklarasi Murnajati. Adapun tim perumus Deklarasi Murnajati adalah; Umar Basalin (Bandung), Madjidi Syah (Bandung), Slamet Efendi Yusuf  (Yogyakarta), Man Muhammad Iskandar (Bandung), Choirunnisa’ Yafizhan (medan), Tatik Farikhah (Surabaya), Rahman indrus dan Muiz Kabri (Malang).

Kiprah PMII pasca independen tidak banyak terekam, karena minimnya dokumen, termasuk posisi PMII ketika kasus Malari. Tetapi yang jelas, ketika rezim orde baru berkuasa, PMII dipinggirkan dan dibatasi perannya. Kemudian, PMII berusaha mengambil langkah-langkah strategis untuk menunjukkan eksistensi dan kiprahnya. Baru tahun 1989 PMII melakukan Penegasan Cibogo (Kongres Medan) dan merevisi pola hubungan NU-PMII dengan pola interdependensi. Deklarasi Interdependensi terjadi ketika Kongres X PMII di Pondok Gede, Jakarta, tahun 1991. Setelah itu, PMII terlibat dengan berbagai gerakan, termasuk gerakan Reformasi tahun 1998 dengan terang-terangan atau masuk ke dalam organ-organ gerakan taktis.

Kumpulan serpihan sejarah PMII menjadi penting sebagai cermin bagi kita untuk mengayunkan langkah ke arah yang lebih baik. Sehingga, kader PMII tidak mengalami disorientasi dan kegagapan dalam menghadapi perubahan. Apalagi, tradisi dokumentasi dirasakan sangat minim di PMII. Dalam buku-buku sejarah gerakan mahasiswapun, PMII jarang disebut. Disamping itu, para founding fathers PMII, satu per satu meninggal dunia, seperti Mahbub Junaidi, Zamroni dll.

Sumber :

  1. Effendi Choirie dan Choirul Anam (1991), Pemikiran PMII dalam berbagai Persepsi, Surabaya, AULA NU.
  2. Mahbub Djunaidi dalam pengantar Effendi Choirie dan Choirul Anam (1991), Pemikiran PMII dalam berbagai Persepsi, Surabaya, AULA NU
  3. Hasil wawancara dengan Fauzan Alfas (Alumni PMII Malang)
  4. Hasil wawancara dengan Slamet Effendi Yusuf (Alumni PMII Yogyakarta, Deklarator Independensi PMII di Murnajati dan sekarang Ketua DPP Golkar dan Ketua Pelaksana Konvensi Calon Presiden Golkar).


Lampiran

Para Ketua Umum PB PMII dari masa ke masa :

 

  1. (Alm) Mahbub Djunaidi (1960-1961)
  2. (Alm) Mahbub Djunaidi (1961-1963)
  3. (Alm) Mahbub Djunaidi (1963-1967)
  4. (Alm) M. Zamroni, BA (1967-1970)
  5. (Alm) Drs. M. Zamroni, (1970-1973)
  6. Drs. Abduh Paddere (1973-1977)
  7. Ahmad Bagdja (1977-1981)
  8. Muhyiddin Arubusman (1981-1985)
  9. Iqbal Assegaf (1985-1989)
  10. Ali Masykur Moesa (1989-1994)
  11. Muhaimin Iskandar (1994-1997)
  12. Saiful Bahri Anshori (1997-2000)
  13. Nusron Wahid (2000-2003)
  14. Malik Haramain (2003-2005)

 

(Al-Muhafadhatu ‘ala Qadim al-Shalih wa al-Ijad bi al-Jadid al-Ashlah)

 

Oleh : Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Jawa Timur

Indonesia dan Potret Masa Depan

Awal penciptaan manusia adalah sebagai makhluk individu yang hanya mempunyai tanggung jawab kepada Sang Pencipta. Tanggung jawab sosial pertama kali muncul saat diciptakan oleh-Nya seorang hawa di muka bumi. Sejak saat inilah awal mula kehidupan manusia sampai saat ini yang turun temurun meskipun ada teori yang menyatakan bahwa ada kemiripan manusia dengan kera purba sehingga di duga kera purba adalah nenek moyang manusia.

Sang Khaliq menciptakan makhluk dengan berpasang-pasangan ternyata tersurat dan tersirat banyak rahasia ilahiah. Dalam Al Qur’an dinyatakan ”… waja’alnakum syu’uban waqobaila lita’arafu…” …aku ciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya saling mengenal dan belajar antar sesamanya… Populasi manusia hari ini dengan jumlah ribuan juta yang tersebar pada 5 benua merupakan cucu-cucu dari anak turun adam (Qabil-Habil-Syith). Tentunya pada masing-masing komunitas terdapat pemimpin yang mampu menciptakan kharisma, selanjutnya disegani dan patuhi. Lebih lengkap, budaya-peradaban manusia dapat kita pelajarai pada sejarah dunia.

Di indonesia, fakta ini dapat dilihat dari munculnya kerajaan-kerajaan mulai dari kerajaan pra Islam (hindu-budha) sampai kerajaan Islam dengan corak khas masing-masing. Sebelum masuknya bangsa-bangsa asing ke nusantara, Indonesia masih mempunyai budaya lokal yang melambangkan identitas, trend, dan kepentingan pada masanya. Seiring dengan semangat pelayaran dunia untuk tujuan gold, gospel, dan glory maka telah terjadi akulturasi. Kepentingan untuk menciptakan pengaruh di nusantara mulai muncul, untuk menarik simpati pribumi dengan tujuan awal perdagangan, bangsa Cina-Arab-Eropa mengenalkan kebudayaannya perlahan dan pasti. Riwayat kolonialisme berawal dari penamaan (naming). Columbus pada abad ke-15 menemukan sebuah pulau di kawasan Karibia, dan menamakannya ”Amerika”. Belanda datang ke Jawa dan menemukan satu bentuk adat istiadat yang kemudian dinamai ”hukum adat”, atau pelayan dalam rumah tangga yang dinamai ”babu”. Maka hal itu ditulis, lalu terbentuklah teks, dan lama-kelamaan masa lalu pun berwujud menjadi teks yang dikaji, dipelajari, dan dianalisis (Baso, 2005:49).

Berangkat dari berdagang kemudian menjadi monopoli perdagangan dan berujung penindasan/penjajahan. Hal inilah barangkali yang bisa kita pelajari dari masuknya bangsa Eropa di Nusantara. Muncul para pahlawan nasional yang memperjuangkan negerinya keluar dari penindasan. Kita kenal nama Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin, Cut Nyak Dien, Pangeran Diponegoro, dll. sebagai pejuang yang harus menyerahkan akhir hayatnya di tangan penjajah. Tiga setengah abad negeri ini terkungkung dalam cengkeraman kolonialisme. Atas perasaan senasib dari para anak bangsa serta atas kebijakan politik etis Belanda muncul kebangkitan nasional. Budi Utomo di tahun 1908, Sumpah Pemuda tahun 1928, puncaknya adalah masa kemerdekaan RI tahun 1945 yang mengusung Soekarno-Hatta sebagai nahkoda. Perjuangan pasca kemerdekaan masih panjang, kondisi perekonomian, pendidikan, dan segala aspek bangsa perlu segera distabilkan. Untuk mencapai kondisi yang stabil, konstitusi RI mengalami beberapa kali perubahan. Negara Republik Indonesia (RI) pertama pada 17 Agustus 1945, negara RI Serikat 1949 (republik kedua), negara RI Sementara 1950 (republik ketiga), Negara Dekrit 5 Juli 1959 (republik keempat), era perang dingin, republik kelima 1963 (plus Papua), republik keenam 1974 (plus Timor Timur), gelombang ketiga demokratisasi, dan kembali ke republik kelima 1999 (tanpa Timor Timur).

Sejak reformasi sampai sekarang masih belum ada suatu perubahan yang berarti dan bisa kita banggakan. Namun kita sempat terkejut dengan disabetnya medali olimpiade fisika oleh putra-putra bangsa di tengah-tengah kemelut problematika bangsa. Perekonomian yang dipandang sebagai kunci pembebasan dari krisis pun tak kunjung terselesaikan. Pokok permasalahannya pada mentalitas bangsa Indonesia yang rendah. Sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dilantik sampai sekarang, beliau sering mendapat kritikan  terutama kritik tersebut terpusat pada prioritas kebijakannya tentang pemberantasan KKN. Mbuletnya birokrasi dan aturan tentang penegakan hukum membuat kasus KKN tidak segera terselesaikan. Banyak tersangka kasus KKN dibebaskan karena tidak adanya ”bukti” dan setelah dikaji ternyata negara tidak ”dirugikan”. Sebagai contoh kasus privatisasi BCA, atas desakan IMF BCA dijual 5 triliun untuk 51% sahamnya dan kalau ditotal menjadi 10 triliun untuk 100% sahamnya. Padahal di dalam BCA ada tagihan 60 triliun kepada pemerintah per tahunnya. Jadi kalau dihitung, privatisasi BCA memberikan pemasukan kas negara sebesar 10 triliun namun negara harus membayar 60 triliun per tahunnya akibat kebijakan ini. Banyak kasus KKN tidak dianggap sebagai korupsi karena pada dasarnya yang dilakukan adalah Corrupted mind sehingga Indonesia dianggap negara paling terkorup di dunia meskipun koruptornya berjumlah sangat sedikit. KKN dalam bentuk Corrupted mind ini sebenarnya lebih berbahaya daripada KKN yang terang-terangan karena kebijakannya sudah korupsi sehingga menyengsarakan rakyat (Gie, 2005:43-49).

Dengan pemberlakuan UU No 22/1999 dan UU No 25/1999, tentang otonomi daerah telah memunculkan harapan baru dengan pembentukan 70-an provinsi/kabupaten/kota baru. Banyak daerah-daerah yang belum siap dengan aturan baru ini karena kebiasaan daerah yang kurang mandiri dan terbiasa menghidupi daerahnya sendiri. Kondisi ini diperparah dengan semakin merajalelanya KKN secara terang-terangan di daerah-daerah yang sebelumnya peredaran ini terjadi di pusat.

Sektor pendidikan pun dicoba untuk menjadi prioritas utama pembangunan bangsa. Diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004 sebagai titik terang awal menuju otonomi pendidikan. Alhasil, para pendidik bangsa ini belum siap dengan ”aturan main” yang ada. Dengan kondisi ”agak terpaksa” akhirnya KBK diimplementasikan dalam pembelajaran sehari-hari. Pasca KBK, diberlakukan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional no. 22, 23, dan 24 tahun 2006. Peraturan ini mengatur kurikulum pada masing-masing satuan pendidikan (sekolah) sebagai pelaksana pendidikan di bawah. Beberapa sumber menyatakan bahwa dengan peraturan ini berdampak pada kapitalisme dunia pendidikan dan menjadikan sekolah menjadi latah. Hemat saya, kita tidak perlu su’uddhon dulu sebelum membaca dan memahami kebutuhan pendidikan nasional.

  Perang antar kebudayaan dan idiologi antar bangsa sangat dirasakan oleh negara Indonesia dengan jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta. Berbagai proyek penanaman idiologi oleh bangsa-bangsa maju kepada negara-negara berkembang genjar dilakukan untuk menjadikan negaranya sebagai pusat peradaban dunia. Triliunan dana dikeluarkan untuk kepentingan ini. Mampukah Indonesia membawa jati dirinya di tengah-tengah arus globalisasi yang tanpa batas? Mungkin kita semua yang bisa menjawab lewat aktivitas sehari-hari yang kita lakukan. Ada baiknya pula jika kita terapkan prinsip 3M yaitu 1) mulai dari diri sendiri, 2) mulai dari hal yang terkecil, dan 3) mulai dari sekarang. Kemandirian disertai dengan kesabaran dan doa adalah jalan keluar dari kemelut bangsa yang ada.

Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamit Thoriq

Wassalamu’alaikum War. Wab.      .

Disampaikan dalam pengantar materi Ke-Indonesiaan MAPABA PMII Rayon Al Ghozali Sunan Kalijaga Malang di Gedung PKBKotaMalang, 22-24 Desember 2006.

2 Fasilitator adalah warga PMII Sunan Kalijaga yang pernah merasakan nikmatnya makna persahabatan dan perjuangan di PMII Sunan KalijagaMalang.

 

 

 

 

 

Romantisme Naif Gaya Ahlusunnah Waljama’ah

Tantangan keberagaman saat ini memasuki babak baru. Kalau pada beberapa dekade yang lalau uat beragama masih berkutat untuk saling membuktikan bahwa agamanya yang paling benar dan agama orang lain salah, maka keberagamaan saat ini sudah melampui klaim benar-salah tersebut. Orang tidak ingin lagi terjebak pada truth claim yang dalam sejarah kemanusiaan ternyata melahirkan kekerasan dan penistaan kemanusiaan yang hampir-hampir tidak bisa di nalar oleh logika agama itu sendiri. dalam arti bahwa agama  yang dalam dirinya memuat nilai-nilai luhur penghormatan nilai-nilai kemanusia –agama untuk manusia- ternyata seringkali menampilkan wajah yang sebaliknya.

Kesadaran ini tidak mesti di pahami sebagai humanisme naif yang diawali oleh gerakan rennaisance, tapi bahwa kemanusiaan sebuah agama  harus bisa di ukur apakah ia dapat mengankat menuasia pada derajat kesempurnaannya ataukan tidak. Sejalan dengan ini, maka agama tidak seharusnya alasan untuk  bertindak yang justru menginjak-injak human digniti. Jadi, adagium “agama untuk manusia” harus dipahami bahwa dengan agama, manusia semestinya menemukan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, baik secara individual manupun koleketif. Jadi, bukan dalam pengertian humanisme naif yang meletakkan manusia sebagai titik pusat kosmos sambil merasa berhak untuk  melakuakan apapun tanpa mempedulikan keseimbangan tatanan kosmos.

Kesadaran ini akhirnya melahirkna gugatan-gugatan terhadap tafsir-tafsir keagamaan yang selama ini di rasa sering menjadi tidak masuk bagi tindak-tindak yang manusiawi. Tidak perlu di tutup-tutupi bahwa seringkali tafsir keagamaan memainkan peranan penting dalam konflik-konflik kemanusiaan. Sejarah Perang Agama di Eropa yang hampir melumpuhkan Eropa terjadi karena tafsir agama ini. Begitu juga dengan pembelahan umat umat Islam hingga saat ini antara Sunni dengan dari syii yang seringkali menjadi konflik terbuka dan terang-terangan juga dipicu dari sebab yang sama. Dari sini menyadarkan kita bahwa tafsir keagamaan telah begitu banyak andilnya dalam menentukan peradaban manusia. Karena begitu signifikansi posisinya inilah, maka proses evaluasi menjadi perlu untuk selalu digerakkan jika kita tidak ingin peradapan kita hancur justru karena klaim – klaim normatif agama.

Kesadaran inilah yang saya kira membuat kita juga merasa legitimate untuk menilai ulang doktrin Ahlusunnah Waljama’ah  yang sekian lama selalu selalau dijadikan ukuran baka untuk menilai kebenaran dan kesalahan seseorang atau kelompok dalam ber-isla. Berkaitan dengan  ini pula, seluruh tantangan – tantangan kemanusiaan yang datang dan menantang di depan mata kita hendak kita benturkan dengan konsep Ahlusunnah Waljama’ah. Seperti yang ditulis oleh Gus Mus, bahwa keresahan yang bernada tuntutan tidak lagi bisa dibendung. Petanyaan itu misalnya bagaimana sikap Ahlusunnah Waljama’ah dalam kehidupan sehari-hari, dalam pergaulan sosial, dalampolitik, ekonomi, budaya, dsb? Pembicaraan kita kali ini juga berada diatas rel yang sama (on the same track) dengan tuntutan – tuntutan di atas. Topik “Ahlusunnah Waljama’ah sebagai Manhajul al-Fikr dalam perspektif sosial, budaya, HAM dan lingkungan” adalah sebuah topik yanghendak menuntut Ahlusunnah Waljama’ah untuk menjawab problem – problem kemanusiaan kontemporer yang kurang – lebih adalah poin – poin tersebut.

Akan tetapi, sebelum kita melanjutkan upaya untukmejawab tuntutan tersebut, yang perlu kita pertanyakan adalah apakah tuntutan tersebut proporsional atau nyinyir?  Barang kali justru pertanyaan inilah yang perlu kita selesaikan dulu. Jangan – jangan tuntutan ini semacam sikap romantis yang terlanjur mengidealisasi Ahlusunnah Waljama’ah sebagai pusat kebeanaran dalam ber – islam sehingga seluruh problem kemanusiaan harus bisa dijelaskan dalam kerangka Ahlusunnah Waljama’ah –Aswajamania. Kalu memmang ya. Lau, apa bedanya kita dengan para apolog muslim naif yang terus berkoar – koar bahwa seluruh persoalan telah tuntas di jawab oleh Al-Quran sambil menuntut semua orang untuk mengikutinya.  Sebuah sikap yang ujung –ujungnya anti toleran, anti pluralitas dan menista HAM. Kalu kita justru terjebak disini, tentu sebuah ironi karana toleransi, penegakan HAM dan liberasi adalah sebuah idealita yang hendak kita perjuangkan.

Ahlusunnah Waljama’ah : Relasi –Relasi Kuasa “We” dan “Other”

Pertanyaan pertama yang patut kita lontarkan disini adalah apakah benar – benar ada Ahlusunnah Waljama’ah dan non –Ahlusunnah Waljama’ah. apakah kolompok non-Ahlusunnah Waljama’ah yang diidentifikasi selama ini sesuai dengan direpesentasikan oleh kelompok Ahlusunnah Waljama’ah?pertanyaan ini sesungguhnya mengandaikan bahwa pencitraan yang dilakukan oleh kelompok Ahlusunnah Waljama’ah adalah sebuah konsep yang diturunkan dari kajian akademis,tapi juga kumpulan imagi –imagi tentang kelompok yang sesat .Di dalam Ahlusunnah Waljama’ah berkumpul sejumlah kode,vocubulari serta praangapan –praanggapan yang menjadi teks pengikat terhadap siapa saja yang hendak melihat dan menilai apa yang disebut sebagai kelompok non Ahlusunnah Waljama’ah .Ahlusunnah Waljama’ah tidak berurusan dengan kesesuaian klaim –klaimnya dengan kenyataan yang ada ,tapi berurusan dengan konsistensi internal dengan ide-idenya tentang kelompok non Ahlusunnah Waljama’ah yang sesat tanpa harus beruruasan dengan realitas yang sesungguhnya.

Terdapat obyek khas yang hanya diciptakan pikiran sehingga obyek yang sebenarnya fiktif berubah memperoleh status obyektif. Sekelompok orang yang hidup di tempat tertentu akan mnciptakan batas-batas antara tanah tempat tinggal mereka dengan batas tanah luarnya .Dengan kata lain, praktek universal untuk menyuguhkan kepada pikiran sendiri untuk suatu ruang yang akrab yang disebut “daerah kita  “(we) dengan ruang lain yang lain yang asing yang disebut “daerah mereka (other)”adalah suatu cara untuk menciptakan pembedaan-pembedaan yang sepenuhnya bersifat arbriter. Bersifat arbriter karena perbedaanntara” kita” dengan “mereka”tidak mensyaratkan pengakuan “mereka” terhadap pembedaan tersebut. Cukup bagi “kita”untuk menentukan pembedaan dalam pikiran dan”mereka” menjadi “mereka” dengan sendirinya dan baik wilayah maupun status mentalitasnya (ajaranya) ditetapkan sebagai berbeda dengan wilayah dan mentalitas (ajaran) “kita” pembedaan ini kemudian disertai dengan berbagai ragam stereotype.Dengan pembedaan ini,segala macam dugaan ,asosiasi dan imajinasi tampak memenuhi “yang lain” tersebut .

Filosof perancis, Baston Bachelard ,pernah menulis suatu analisistentang apa yang disebutnya sebagai puisi ruang. Sebuah ruang obyektif – sudut, gang, kamar, loteng, dsb – jauh tidak penting dari pada apa yang di isikan dan dikenal kepadanya secara imajinatif. Ruang dalam sebuah rumah, misalnya, memperoleh suasana keakraban, kerahasiaan atau keamanan disebabkan kaarena pengalaman – pengalaman yang mengisi ruang tersebut. Dengan demikian, ruang tersebut menjadi teduh, menyeramkan atau bagaikan penjara bukan karena realitas obyektif, tapi karena pelabelan secara imajinatif. Inilah rasio Ahlusunnah Waljama’ah ketika ia memberiinilai dan arti atas no Ahlusunnah Waljama’ah sebagai “The Other” pada ahirnya, proses ini menjadi teks baku dengan apa setiap orang sunni harus melewati jaring – jaring kode ini. Kebenaran ditentukan dari penilaian intelek yang sudah terbentuk sebelumnya, bukandari materinya sendiri. istilah “bukan aswaja “ ahirnya adalah sebuah panggung yang memberi batas – batas kepada seluruh kelompok di luarnya yang jati diri dan peranannya telah ditentukan dalam imajinasi Ahlusunnah Waljama’ah.

Ahlusunnah Waljama’ah sebagai Discursive Practice

Adalah sia –sia bagi  kita untuk membuktikan bahwa Ahlusunnah Waljama’ah adalah sebua paham ke-islaman yang benar. Tidak ada standar apapun yang bisa gunakan untuk menakar klaim tersebut. Sejauh runtujtan sejarah , maka kita akan menemukan bahwa yang yang terjadi sesungguhnya adalah benturan berbagai perspektif ke-islaman dimana Ahlusunnah Waljama’ah hanya salah asatu kontestannya. Kebenaran dan kesalahan hanya sebagai strategi wacana yang dikkembangkan untuk mendefninisikan diri  (We) dan yang lain (Other). Pada saat sebuah wacana menjadi titik pusat, maka ia akan menjadi ukuran untuk menentukan benar dan salahnya wacana lain. Dia akan mengalami nasib yang sama dengan musuhnya jika rlasi kuasa berganti dan titik pusat di pegang oleh orang atau kelompok lain.

Dalam perspektif Culturstudies, keapaan “yang lain” (other) selalu bergantung bagaimana ia di presentasikan oleh sebuah wacana dominan Cultural studies yang mengusung semangat angti-esensialisme, menolak seluruh klaim-klaim hitam putih untuk mengesensialisasi realitas. Realitas adalah representasi. Ia di tambakan sebagai saputan kuas dankerangka wacana dominan yang menjadi titik sumbu dalam perebutaqn makna. Representasi ini di lakukan dalam rangka untuk mendevinisikan diri, membekukan identitas diri. Kebutuhan untuk menentukan identitas inilah yang kemudian melahirkan upaya untuk mencipta dan mendevinisikan yang lain ( other ).

Jadi, identitas kita (we) selalu di bangun untuk mengeksklusikan yang lain (other). Yang lain ( other) dipresentasikan sebagai negativ untuk di perlawankan dengan kita ( we ) yang positif. Yang lain salah dan kita adalah benar. Yang lain menyimpang dan kita adalah normal. Inilah yang di sebut dengan the idea of constitutive othernes, yaitu bahwa kelainan itu di cipta, didefinisikan, dipresentasikan untuk melayani identifikasi dan pengukuhan kita sebagai yang baik, benar, standar, normal, waras, dan segala atribut yang baik-baik. Keseluruhan prakter-praktek ini adalah apa yang di sebut dengan discursive practice (praktek wacana ). Sebuah wacana yang mengrung wacana lain untuk tetapmenjadi pinggiran sehingga ia bisa selalu dipersalahkan dalam rangka melayani kepentingan wacana dominan yang menjadi titik sumbuseluruh relasi kuasa ( power relation ) yang di bangun di atasnya. Tidak perlu heran bahwa Michel Foucailt mengatakan bahwa wacana berjalin berkelindan dengan kekuasaan?

Pembacaan terhadap posisi Ahlusunnah Waljama’ah  juga harus kita mulai dari kesdadaran bahwa ia tidak lebih dari sekedar strategi wacana. Cara dia mendevinisikan juga di bangun dengan cara mempresentasikan yang lain sebagai salah. Oposisi  bener dipakai sebagai strategi untuk menentukan keapaanya. Ini bisa dilihat dari kelompok yang di anggap menyimpang. Ahlusunnah Waljama’ah seringkali di perlawankan dengan Syi’ah, Mu’tazilah, Khawarij, dsb. Dengan melihat “definisi” yang umum di berikan terhadapnya bahwa Ahlusunnah Waljama’ah adalah kelompok yang dalam teologi mengikuti ajaran Asy’ari dan Maturidi,dalam fiqih mengikuti empat imam madzhab ( Maliki, Hanafi, Syafi’I, Hambali ) dan dalam tasawuf mengikuti Alghozali dan Junaid Albaghdadi, maka akan segera muncul satu pertanyaan yang mendasar, atas dasar apa ajaran orang-orang ini bisa di anggap sebagai Ahlusunnah Waljama’ah. Kalau aswaja merupakan satu-satunya kelompok yang mendapat jaminan keselamatan berdasarkan satu hadits tertentu, maka stansar apa yang di gunakan untuk menyebut bahwa ajaran merekalah yang benar dan akan menuai keselamatan tersebut?

Tidak ada jawaban apapun untuk mendukung klaim esensialitas kebenaran ini kecuali kalau memahaminya bahwa ini tidak lain adalah strategis wacana. Dalam strategi pewacanaan ini, maka wacana dominan ini akan menyatakan dirinya sebagai titik pusat yang menyandang klaim-klaim kebenaran, dengan apa yang lain kemudian dipresentasikan sebagai kelompok pinggiran  yang menyimpang. Mu’tazilah menjadi kelompok yang sesat ketika Asy’ari mendognkelnya dari tahta dominannya. Pada saat Mu’tazilah menjadi titik pusat, Asy’ariyah aadlah  sebuah wacana yang menyimpang dan sesat sebagaimana  yang tergambarkan dalam peristiwa mihnah  tentang status kemakhlukan Al-Qur’an.

Kalau pada awalnya, Asy’ariyah menjadi narasi kecil, maka ketika ia bergeser kepusat, ketika ia diadopsi oleh kekuasaan saat itu, ia  berubah menjadi grand narative. Gerakan ‘Asy’arisme yang pada awalnya bisa dipahami sebagai proses decentering dari Grand narative  Mu’tazilah, ia merubah dirinya secara sama persis dengan wacana yang dikalahkanya. Asy’ariyyah menjelma menjadi pusat penetu dari wacana-wacana yang ada . dalam hal ini , Asy’ariyyah merupakan wacana dominan yang meminggirkan wacana-wacana lain yang tidak dominan . ibarat lingkaran, Asy’ariyyah merupakan titik tengah lingkaran tersebut. Menjadi hakim untuk menentukan benar tidaknya  wacana diluar dirinya. Sebagai istilah generik, yaitu Ahlusunnah Waljama’ah dalam pengertian ma ana alaihi wa ashabi, , maka setiap golongan umat Islam akan meyatakan  bahwa keisalaman mereka  mengikuti petunjuk rasul sebagaimana yang juga dipraktekkan oleh para sahabatnya.. syi’ah yang dituduh oleh orang Sunni  tidak mengahrgai sahabat Abu Bakar , Umar dan Ustman pun mendasarkan klaim –klaim ajaranya pada Nabi dan sahabatnya. Apalagi kalau a Ahlusunnah Waljama’ah dipahami secara Universal sebagai suatu  jalan Tuhan menuju kebaikan dan  keselamatan, maka tidak hanya orang Islam, tapi juga orang-orang non-Muslim pun akan memiliki klaim yang sama.

“Gugatan” ini jugs kits arahkan pada upaya pendefinisian ulang yang dilakukan oleh said Agil Siraj tentang Ahlusunnah Waljama’ah sebagai manhaj Al-Qur’an-Fikr. Menurutnya, Ahlusunnah Waljama’ah adalah “cara berfikir dalam memahami agama yang meletakkan aspek tawassuth, tasamukh, (tawazun, red) sebagai pijakan dalam mencari jalan tengah.” Dari manakah manhaj ini diturunkan?. Teologi, fiqih,dan tasawuf yang selama ini diklaim sebagai suuni yang manakah yang kemudian bisa di-breakdown menjadi manhaj seperti itu? Kalau Said Agil Siraj menurunkan konsep manhaj-nya dari pemikiran Abu Hanifah, lalu bagaimana dengan pikiran tokoh-tokoh lain? Asy’ary, misalnya, dari sisi mana kita bisa menurunkannya menjadi manhaj dalam melayani kebutuhan kita saat ini. Yang justru bisa kita ambil darinya upaya decemering terhadap grand narative Mu’tazilah. Akan tetapi, ini berarti juga akan membawa kita untuk mengambil semangat yang sama dari Syiah dan khowaarij,misalnya, bahkan dari seluruh kelompok yang melakukan  decentering terhadap narasi besar, tidak peduli sekte dan agama apapun. Kalau seperti ini, maka di manakah manhaj tawassuth, tasamuhk, dan tawazun yang digagas oleh said Agil Syiraj karena manhaj  ini dirumuskan salah satunya dengan salah satu sentra persaingan antara Asy’ariyah dengan Mu’tazilah adalah masalah posisi rasionalitas dalam proses pemahaman atas wahyu. Dari sini, wacana Ahlusunnah Waljama’ah kemudian meminggirkan sisi rasionalitas secara sistematis dengan membunuh filsafat. Tidak lagi menjadi persoalan apakah sistem teologi Mu,tazilah dibangun diatas landasan rasionalitas sedang Asy’ariyah tidak. Masalah utama adalah kalim. Penyingkiran rasionalitas inilah yang kemudian menggiring diadopsinya sistem tasawuf Al-ghozali dan junaid Al-Qur’an Bagdadi, dan tidak akan pernah menoleh kewilayah tasawuf falsafi. Dari sini kemudian Ahlusunnah Waljama’ah sering kali disinonimkan dengan tradisi keislaman ulama salaf  (ahl Al-Qur’an-Hadits yang “tidak menggunakan”akal dalam memahami Al-Qur’an ) dengan ulama kholaf (ahl Al-Qur’an-Ra’y yang menjadikan rasio sebagai instrumen untuk memahami Al-Qur’an ). Dengan cara yang sama, pemilihan empat imam mazhab sebagai sunni juga menggambarkan strstegi pewacanaan yang dilakukan oleh graand narative  dalam meminggirkan wacana-wacana kecil.

Dari sinilah Aswaj kemudian penentu yang menghakimi wacana lain diluarnya. Melalui kekuatan narativenya sunni meresaf dalam sistem kekuasaan, imajinasi dan kesadaran orang sebagai centre of truth, Ahlusunnah Waljama’ah kemudian memproduksi aturan-aturan menurut caranya sendiri. Ahlusunnah Waljama’ah mendudukkan diri sebagai hakim atas setiap wacana yang ada diluarnya. Ia memvonis yang lain sebagai keluar dari main stream kebenaran.

Dari renik-renik pertarungan wacana diatas, terlihat bahwa Ahlusunnah Waljama’ah sebagai istilah tehnik yang menunjuk pada corak pemahaman tertentu atas Islam samasekali tidak memiliki pendasaran apapun atas klaimkebenarannya. Ketika ia menjadi wacana pinggiran, maka ia direpresentasikan secara negatif oleh wacana diminan. Ketika ia menjadi wacana dominan ia berganti melakukan hal yang sama. Iia membuat aturanlaindan sekaligus cara mengeksklusifkan khowarij. Sementara, manhaj tersebut dalam praktek politik sunni menjelma menjadi sikap kompromis – nepotis yang kemudian melahirkan satu adagium politik sunni yang sangat terkenal bahwa “enampuluh tahun dipilih oleh penguasa yang zalim lebih baik daripada satu malam tanpa seorang pemimpin” .

Sampai disini semakin terliahat bahwa seluruh perbincangan teentang Ahlusunnah Waljama’ah hanya  sebuah romantisme naif karena memganggap bahawa Ahlusunnah Waljama’ah adalah sebuah wacanayang mutlak ideal, maka kita berusaha terus-menerusuntuk mengangkatnya sekalipun yang kita temui adalah ironi-ironi ibarat sisiffus yang terus-menerus mendorong batu kepuncak gunung sekalipun setiap kali sampai puncak setiap kali itu juga dia akan meluncur kedasar jurang. Salah-salah kita terjebak pada retorika gaya Islam modernisyang selalu berusaha selalu mencari orisinilitas sambil berteriak-teriak  tahayyul, bid’ah, dan  khurafat. Bisa saja ini terjadi karena didalam istilah Ahlusunnah Waljama’ah secara samar-samar terlihat imajinasi ke arah pencarian orisinalitas ini sambil menuduh selluruh orang yang berada di luarnya sebagai kelompok yang tidak selamat . konsekwensi ini bisa terjadi baik rumusan Ahlusunnah Waljama’ah sebagai isi/dogma maupun sebagai manhaj.

Tak Perlu Stempel Ahlusunnah Waljama’ah

            Akan lebih sehat bagi kita untuk menjawab tantangan-tantngan masa ini tanpa harus dibebani dengan referensi sejarah masa lalu, apa lagi kalau refrensi itu berupa penjara. Dalam arti bahwa apakah kita memiliki kesadaran sebagai sunni ataukah tidak, semangat toleransi, penghormatan terhadap HAM dan upaya-upaya liberassi adalah sesuatu yang harus kita perjuangkan kesetaraan gender, demokrasi dengan tanpa membedakan kewarganegaraan seseorang berdasarkan agamanya, dialog antaragama tidak harus selalu dicarikan referensi kepada Ahlusunnah Waljama’ah.

Kepada fiqh sunni manakah, baik isimaupun manhaj kita akan mencari  rujukan terhadap perjuangan kita akan tegaknya kesamaan hak dan kewajiban warga negara dalam sebuah negara demokrasi? Kepada fiqih sunni yang manakah , baik isi maupun manhaj, yang akan kita jadikan rujukan bagi perjuangan kesetaraan gender. Terhadap sistem teologi yang manakah, baik isi maupun  manhaj, yang akan kita jadikan rujukan dalam melaani semangat-semangat kemanusiaan yang diilhami oleh teologi pembebasan? Bukankah isu -isu kemanusiaan ini yang justru menjadi concern kita saat ini ?

Yang perlu bagi kita saat ini tidak lagi mempermak wajah Ahlusunnah Waljama’ah sedemikian rupa agar ia mampu menjawab seluruh tantangan kemanusiaan saat ini. Upaya rekontruksi Ahlusunnah Waljama’ah menjadi manhajal Fikr juga tidak  cukup memadai untuk menjawab tantangan . yang perlu bagi kita adalah bagaimana keberagaman kita melahirkan sengaat untuk semakin menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan tanpa mempedulikan kelompok , etnis san agamanya. Semangat ini adalh toleransi, pluralitas, HAM, demmokrasi, lingkungan hidup, dsb. Inilah yang lebih mendesak untuk kita  carikan rumusannya dalam sinaran keberagaman kita dalam menegakkan HAM, demokrasi, toleransi, pluralitas, dsb, tiba-tiba kita menmemukannya sama sekali berbeda dengan Ahlusunnah Waljama’ah, baik isi  maupun manhaj , ya tidak masalah. Kalau rumusan kita tidak diakui sebagai Ahlusunnah Waljama’ah, tidak usah berkecil hati karena memang tidak ada kewajiban untuk mendapatkan stempel benar dari Ahlusunnah Waljama’ah untuk memperjuangkan ini semua. Inul saja tidak berkepentingan  untuk mendapat stempel halal di pantatnya  dari MUI.

Oleh : PC PMII Kota Malang *


Strategi dan Taktik Gerakan PMII

Eine grosse Epoche hat das jahrhundert geboren,Aber der grosse Moment fundet ein kleines Geschlect.(Johann Christoph von Schieller, Pujangga Jerman)

(Abadnya abad besar yang melahirkan jaman besar,namun momen sebesar ini hanya menemukan manusia kerdil)

A.Anggitan Awal

            Mencermati dan mengamati sebuah gerakan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia),berarti mengadakan sebuah diskusi panjang yang didalamnya terdapat sekian kelonggaran ruang untuk secara serius mendialektikan tema-tema pembicaraan itu kedalam agenda yang lebih spesifik dan runtut.Hal ini diperlukan karena pada pokok pembicaraan itu seringkali membuang habis energi tanpa adanya perumusan yang dapat didiskusikan secara terus menerus dan mendasar.Bahwa kondisi kultur seperti ini diperlukan perubahan sehingga budaya dialog masih menjadi media yang penting bagi tumbuh dan berkembangnya PMII.

            Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau lebih popular disebut PMII adalah organisasi kemahasiswaan ekstra Universitas yang lahir pada tanggal 17 April 1960 di kota Surabaya,Jawa Timur.Ia adalah sosok gerakan mahasiswa yang terbit dari kehendak sejarah dan sekaligus kehadirannya untuk (membuat) sejarah ditengah kehidupan langgam bangsa yang sedang berlangsung.Proses kelahiran PMII juga tidak dapat dipisahkan dari kelompok muda yang mewakili komunitas masyarakat NU yang lebih bercorak agraris,pedesaan dan secara ekonomi,sosial politik termarginal.Anak-anak muda ini nampaknya sadar bahwa posisi demikian bila dibiarkan selain membawa dampak yang kurang bagus bagi pengembangan dan kemajuannya,juga mainstream yang sedang berjalan tidak menempatkannya dalam posisi keseimbangan dengan kekuatan-kekuatan lain yang terkesan di ‘anak emaskan’ oleh tatanan system yang tengah berjalan (Tahun 1960 an).

            Dengan tidak menegasikan dari proses kelahirannya bahwa PMII adalah lahir dari kultur NU tadi,PMII senantiasa terus bergeliat bersama dinamika bangsa yang terus bergulir dari satu jaman kejaman berikutnya.Artinya PMII yang merupakan sintesa dari variabel keislaman,kemahasiswaan,dan keindonesiaan mencoba menjawab persoalan bangsa sebagai titik focus garapan utamanya sebab sublimasi nilai-nilai dasar yang menjadi acuan perjuangan PMII (Ideologi Gerakan PMII) tersebut,senantiasa diorientasikan kepada kepentingan kehidupan bangsa sebagai wujud pengabdian tertingginya.Disinilah kita kemudian dapat melihat sebuah kerangka dasar gerakan PMII yang akan diterjemahkan secara konsisten dan terus menerus.

            Namun demikian,proses perjalanan PMII tetap dengan warna zaman yang menjadi pembalutnya.Kita dapat melihat perbedaan itu sangat jelas dalam periodisasi gerakan PMII dari masa kemasa.Perbedaan itu tidak saja dipengaruhi oleh gaya atau style gerakan oleh person-person yang menjadi motor penggeraknya,tetapi lebih ditentukan oleh konstelasi perpolitikan nasional yang tengah berlangsung.Dengan mencermati hal tersebut maka akan tercipta pada sebuah gambaran dan asumsi bahwa tingkat keterlibatan PMII dengan persoalan kebangsaan sungguh sangat kental.

            Kekentalan gerakan PMII dengan persoalan bangsa yang dimaksud dapat diamati lewat gerakan PMII dalam tataran aplikasinya,semisal konsennya PMII dengan nasib rakyat kecil,penegakan kebenaran,keadilan dan kejujuran,perawatan moralitas bangsa,penguatan demokrasi,HAM dan lain sebagainya.Di luar itu semisal urusan-urusan yang bersifat paktis politis adalah komplementer,itupun dalam batas-batas tertentu dan sangat kondisional.Dengan kata lain,wujud konkrit dari strategi politik PMII adalah upaya merebut wilayah-wilayah garapan yang secara riil bersinggungan secara langsung dengan persoalan masyarakat,karena disinilah kemudian PMII sekaligus dapat dapat melakukan pendidikan politik yang efektif bagi rakyat.Yaitu model gerakan yang melibatkan seluruh kekuatan infrastruktur bersama rakyat melakukan proses pemberdayaan dan penyadaran terhadap posisi sebagai warga Negara dari sebuah komunitas bangsa.

B. Pengertian Strategi dan Taktik

            Strategi berasal dari kata yunani “Strateges” yang berarti “Pemimpin Tentara”.Jadi kata strategi asli berarti kemahiran memimpin tentara,demikian halnya dapat diartikan sebagai the art of the general.Antoni Henri Jomini (1779-1869) dan Karl Van Clausewitz (1780-1831) yang merintis dan memulai mempelajari strategi secara ilmiah.beberapa pengertian strategi :

a.Jomini mengatakan strategi adalah seni menyelenggarakan perang diatas peta dan meliputi seluruh kawasan operasi.

b. Clausewitz mengatakan strategi adalah pengetahuan tentang penggunaan pertempuran untuk kepentingan perang.

c.Lidle hart,seorang inggris yang hidup di Abad 20 setelah mempelajari sejarah secara global mengatakan strategi adalah seni untuk mendistribusikan dan menggunakan sarana militer untuk mencapai tujuan politik.Strategi merupakan seni,olehkarena itu penglihatan dan pengertiannya memerlukan intuisi.

d.Strategi juga merupakan seni sekaligus pengetahuan.

e.dalam arti sederhana strategi pada dasarnya merupakan suatu kerangka rencana dan tindakan yang disusun dan disisipkan dalam suatu rangkaian pentahapan masing-masing merupakan jawaban yang optimal terhadap tantangan-tantangan baru yang mungkin terjadi sebagai akibat dari langkah sebelumnya dan keseluruhan proses.

            Adapun Taktik dalam arti yang paling sederhana adalah serangkaian cara untuk melaksanakan siasat.Ia merupakan bagian integral dari strategi.

e.setrategi adalah sebuah perencanaan untuk menetepkan dimulainya sebuah gersakan sampai terwujudnya cita-cita gerakan. Sementara taktik adalah suatu rancangan gerakan yang bersifat spesifik sebagai bagian dari keseluruhan setrategi gerakan yang dijalankan. Secara mudah bisa dikatakan setrategi adalah seluruh rencana gerakan sedangkan taktik adalah langkah kongkrit yang bisa berubah sewaktu-waktu sesuai perkembangan kondisi sosial yang ada.

C.RUMUSAN STRATEGI GERAKAN BERDASARKAN PEMBAGIAN LOKUS MASYARAKAT.

 

No.

Lokus masyarakat

Strategi gerakan

1

Civil society (masyarakat sipil:Ormas,LSM,GERMA,dan kelompok masyarakat lain )

v  Menciptakan budaya alternative

-membentuk kelompok-kelompok study kebudayaan

v  Menciptakan kesadaran lokalitas (Nasionalisme)

-Pendidikan politik untuk rakyat

-Advokasi,pendampingan dan pengorganisasian rakyat

-Advokasi kebijakan

v  Menciptakan kemandirian ekonomi

-Membangun ruang-ruang ekonomi kerakyatan

-pengorganisasian ruang-ruang ekonomi rakyat

v  Mewujudkan pendidikan untuk rakyat (Kurikulum berbasis kerakyatan,sekolah gratis,KHP (Kritis,Humanis dan professional)

-menciptakan sekolah-sekolah alternative

-Pressurre kebijakan pendidikan

02

Political Society

(Masyarakat Politik;Negara,partai politik)

NEGARA

–       Penguatan posisi Negara terhadap pasar dan Negara kapitalis

(Advokasi kebijakan)

–       Penegakan Supremasi Hukum (-Advokasi Kebijakan)

PARTAI POLITIK

–       Membangun ruang bargaining rakyat dengan partai politik

(Kontrak sosial/politik)

03

Ekonomi Society

(Masyarakat Ekonomi;Pengusaha,pribumi,investor,spekulan,MNC/TNC)

–       Menciptakan Keseimbangan pasar-negara-civil society

–       Membangun kantung-kantong control rakyat terhadap pasar dan kebijakan ekonomi

(Menciptakan kelompok-kelompok study ekonomi dan kebijakan pasar,menciptakan serikat-serikat buruh)

 

Merumuskan taktik gerakan berdasarkan strategi gerakan yang sudah disusun dengan mempertimbangkan tiga kerangka gerakan.

 

 

War of Position

War of Opinion

War Of Opinion

NDP

–       Hubungan manusia dengan tuhan

–       Hubungan manusia dengan manusia

–       Hubungan manusia dengan alam

ASWAJA

-Tawasuth (Moderat-Pola pikir (Agama;teologi,fiqih,tasawuf.,Filsafat,Sunnah,Rasionalitas)

–       Tasamuh (Toleran,Pola sikap)Perbedaan-Pluralisme,Agama,internal agama,antar agama, Budaya;Ras,Adat,Suku,Bahasa.

–       Tawazun (Keseimbangan-Pola Hubungan) <Sosial;Egalitarianisme.Politik;Rakyat><Negara.Ekologi;Alam><Manusia.Ekonomi;Negara-pasar-masyarakat>

–       Ta’adul (Keadilan-pola integral (Nilai Universal)

PKT

KONTEKS GAGASAN

–       Tentang masyarakat

–       Tentang Negara

–       Tentang pasar

Manejemen issu

–       Basis intelektual kader (injeksi dan doktrin kesadaran)

–       Basis media (Penyediaan media transformasi gagasan

–       Basismassa(investasi kesadaran

KADERISASI

-Format (Mapaba,PKD,PKL)

–       Informal (pelatihan-pelatihan)

–       Non-formal (Kantong-kantong kader)

GERAKAN HORIZONTAL

(Pengorganisasian)

–       Level kampus

–       Level organ gerakan

–       Levelmassarakyat

GERAKAN VERTIKAL

(Desakan terhadap otoritas)

–       Kuasa kebijakan public

–       Kuasa social ekonomi

–       Kuasa agama

–       Kuasa adapt

–       dll

 

 

Konvensi Pengurus Wilayah Ekonomi Partai Kebangkitan Demokrasi Mahasiswa (PKDM) UIN MALIKI Malang

Hari:

Kamis-jum’at,24-25 Februari 2011

Tempat:

Kantor Pengurus Wilayah (PW-Ekonomi) PKDM Jln.Sigura-gura

Acara:

Pemilihan Calon Direktur HMJ dan Presiden BEM-FE

Hasil: Baca lebih lanjut

Download Anggaran Dasar Rumah Tangga (ADRT) PMII

Untuk mendownlaod ADART PMII Silahkan Klik ‘‘Disini”…. Baca lebih lanjut

‘’Tecnikal Meeting Pra MAPABA bersama PMII Rayon Ekonomi Moch:Hatta UIN MALIKI Malang’’

Kamis,25 November 2010

Malam itu di gedung B kampus uin malang terlihat bendera PMII rayon hatta yang terlihat jelas terpasang di bawah tangga besar Gedung B kampus UIN Malang.Memang pada malam jumat kali ini PMII rayon ekonomi moch hatta akan melaksanakan MAPABA atau lebih kita kenal dengan nama Masa Penerimaan Anggota Baru kegiatan MAPABA ini merupakan sebuah proses wajib yang harus dilalui oleh sahabat-sahabti yang ingin bergabung dengan para sahabat/I di PMII. Baca lebih lanjut

‘’Diskusi Rutinan PMII Rayon Hatta UIN MALIKI Malang ‘’Aswaja Sebagai Manhaj Al-Fikr’’

Kamis,11 November 2010

Diskusi Sudah menjadi tradisi dan merupakan kegiatan rutinan PMII Rayon ekonomi moch hatta UIN MALIKI Malang nach dalam diskusi kali ini kita mengambil tema’’aswaja sebagai manhaj al-fikr’’ saya kira ini adalah sebuah tema yang cukup unik dan sangat bagus untuk di diskusikan karena memang aswaja merupakan manhaj berfikir PMII,ketika kita berbicara aswaja maka kita akan teringat dengan hadits nabi yang mengatakan umat islam akan terpecah menjadi 73/72 golongan hanya satu yang masuk surge yaitu golongan ahlus sunah wal jamaah.memang ketika kita memahami hadits ini secara tekstual kita akan saling mengklaim bahwa diri kitalah yang sebenarnya paling benar dengan saling menyalahkan orang-orang yang tidak sepaham. Baca lebih lanjut