Situs Umpak Songo Banyuwangi yang Terlupakan Oleh Rut Pangestuti

Kecamatan Muncar, Banyuwangi, memiliki banyak situs sejarah diyakini berkaitan erat dengan Kerajaan Blambangan. Sebut saja seperti Situs Umpak Songo, Situs Sitinggil, Bale Kambang, dan Gumuk Sepur. Selain situs-situs itu, tak terhitung pula berapa banyak warga yang menemukan berbagai benda-benda purbakala. Aneka keramik, patung, uang kuno dan sebagainya yang juga menjadi petunjuk pcnting adanya kehidupan besar di masa lalu.

Sayangnya berbagai kekayaan sejarah itu kini daiam kondisi yang mengkhawatitkan. Keberadaan situs-situs terancam oleh tingkah laku manusia yang rnengubah fungsinya menjadi dijualbelikan secara bebas. Namun kiita belum melihat tindakan nyata Pemerintah Banyuwangi untuk melakukan perlindungan dan pelestarian.

Dari banyaknya situs sejarah di Kecamatan Muncar, penulis hanya akan membahas mengenai Situs Umpak Songo, yang terletak di Desa Tembokrejo, Muncar. Dari kota Banyuwangi, situs ini bisa dijangkau sekitar 60 menit perjalanan.

Situs Umpak Songo merupakan salah satu situs yang masih meninggalkan jejak fisik lebih utuh ketimbang situs lainnya. Situs Gumuk Sepur misalnya, yang kini hanya menyisakan bukit memanjang akibat sudah beralih fungsi menjadi lahan pertanian. Situs ini diyakini sebagai benteng raksasa yang mengelilingi keraton Blambangan.

Situs Umpak Songo terdiri dari puluhan batu-batu besar yang tertata rapi membentuk persegi. Dari batu itu ada yang berlubang di tengahnya juga ada yang pepat.

Disebut Umpak Songo karena berasal dari kata urnpak yang berarti penyangga dan songo berarti sembilan (bahasa Jawa). Sehingga umpak songo bisa disebut umpak yang berjumlah sembilan buah.

Karena Umpak Songo diambil setelah ditemukannya sembilan batu dasar yang berlubang tepat ditengahnya. Lubang inilah yang digunakan untuk menancapkan tiang penyangga dari sebuah bangunan.

Juru kunci Situs Umpak Songo, Mbah Soimin, bercerita, sekitar tahun 1916 seseorang yang bernama Mbah Nadi Cede dari Yogyakarta membabat tempat ini yang mulanya adalah hutan. Setelah pembabatan hutan selesai, mulai terlihatlah bagaimana wujudnya seperti yang kita lihat saat ini.

Tahun 1928 datang seorang raja dari Solo, Mangku Bumi IX, yang mengungkapkan bahwa tempat yang ditemukan Mbah Nadi Cede itu merupakan sisa-sisa Kerajaan Blambangan. Mangkubumi IX yang kemudian memberikan nama Umpak Songo.

Ketika Kerajaan Blambangan masih berjaya, situs seluas 30×20 meter ini diyakini berfungsi sebagai tempat untuk merundingkan segala sesuatu atau strategi perang yang akan digunakan untuk melawan kerajaan lain yang akan menyerang. “Dulu tempar ini adalah pusat dari kerajaan Blambangan”, kata Soimin yang merupakan keturunan ke-3 Mbah Nadi Cede.

Menurut peneliti dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Sri Margana, ibu kota Kerajaan Blambangan dulunya sempat berpindah hingga enam kali. Muncar, menjadi ibu kota pemerintahan terakhir sebelum akhirnya dipindahkan ke kota Banyuwangi (Majalah Tempo, 13 September 2010).

Perpindahan ini akibat mewabahnya penyakit yang menyerang ibu kota Blambangan sebelumnya, di Lateng (Rogojampi). Alasan lainnya, Muncar dianggap strategis katena memiliki Pelabuhan Pampang, sebuah pelabuhan internasional yang ramai dikunjungi pedagang dari luar daerah. Namun karena akhirnya penyakit menular juga mewabah, ibu kota Blambangan yang saat itu dipimpin Mas Alit pindah ke kota Banyuwangi pada 21 September 1774.

Umpak Songo sering didatangi pengunjung yang datang dari berbagai daerah seperti Malang, Denpasar, Singaraja dan beberapa daerah lainnya. Mereka memiliki tujuan yang berbeda-beda, mulai penelitian, study tour hingga bersemedi.Karena itu jangan heran bila di dalam Umpak Songo rerdapat beberapa rempat peletakan sesajen dari orang-orang yang berdoa di sana dan sebuah kendi berisi air untuk mensucikan diri.

Puncak keramaian di Umpak Songo adalah ketika Hari Raya Kuningan. Banyak umat Hindhu yang datang dari Baii ataupun daerah Banyuwangi sendiri. Selain itu umat Hindu juga datang setiap 6 atau 7 bulan sekali untuk melakukan persembahyangan, bahkan terkadang sampai menginap di dalarn umpak songo

Selain Umpak Songo, Soimin menyebutkan, juga terdapat Umpak Limo yang ditemukan Mbah Nadi Cede. Letaknya persis di sebetah utara Umpak Songo. Narnun saat ini kita tidak bisa

menjumpainya karena Umpak Limo telah berubah fungsi menjadi musholla.

Memang, sejak ditemukan, area situs ini terus disesaki oleh rumah-rumah yang dibangun oleh keturunan Mbah Nadi Cede. Jumlahnya hingga kini mencapai 20 kepala keluarga.

Umpak Songo baru satu kali direnovasi yang dilakukan pada masa Bupari Ratna Ani Lestari yaitu berupa pembangunan gerbang atau benteng untuk membatasi situs Umpak Songo dengan area di luarnya.

Setiap Sabtu Pahing, warga di sekitar Umpak Songo menggelar ritual berupa tirakatan selama semalam suntuk. Ritual adat ini dilakukan guna meminta berkah keselamatan atau Pak Soimin rnenyebutnya dengan “ngalab berkah” atau kernakmuran untuk warga di sekitar Umpak Songo. Dengan ritual ini diharapkan perusakan terhadap situs Umpak Songo dapat pula terhindari.

Jadi dari pemahaman sejarah Umpak Songo ini kita menda-patkan suatu pelajaran berharga bahwa kita harus memelihara suatu peninggalan sejarah yang memberikan kita banyak sekali pengetahuan yang berarti. Bukannya membiarkannya terhimpit sesak di penuhi perumahan penduduk.

“Inilah halaman kejayaan dalam sejarah kita yang tidak pernah ditulis dan takkan pernah ditulis “.Kalimat yang diucapkan oleh Heinrich Himmler pada pidatonya di Posen. Itu merupakan perumpamaan kata bagi kita bahwa sejarah ditulis karena penting agar tetap abadi dan diketahui oleh semua orang.

SUMBER : Banyuwangi Dalam Mozaik – KOMUNITAS SEJARAH BANYUWANGI

JANGAN LUPA DI SUBSCRIBE DAN DI FOLLOW YA GAESS Youtube : Mas Say Laros Banyuwangi Instagram : @massaylaros Facebook : Mas Say Laros Banyuwangi