Seni Budaya VS Agama,Menurut Suku Using dan Suku Jawa Di Banyuwangi

Salam Jenggirat Tangi…

Selamat Datang Di Padepokan Mas Say Laros…

      Kabupaten banyuwangi atau biasa dikenal dengan kota gandrung ini memiliki banyak seni budaya lokal yang sampai saat ini tetep dipertahankan meskipun harus siap bergempuran dengan kebudayaan impor.Tetapi meskipun demikian suku using yang merupakan suku asli banyuwangi ini tetap konsisten dalam melestarikan budaya lokal untuk dikembangkan menjadi sebuah kesenian yang berwawasan global.

Ma say laros sendiri meskipun tidak memiliki darah using tetapi sangat mengapresiasi semangat lare-lare osing ini dalam melestarikan seni tradisi.Meskipun banyuwangi merupakan salah satu kabupaten yang terkenal dengan gudangnya seni budaya jawa timur.Tetapi kenyataannya masih banyak masyarakat banyuwangi yang memandang sebelah mata dengan seni tradisi yang adiluhung ini.

Ada sebuah perbedaan pandangan yang sangat mencolok dalam menilai sebuah seni tradisi dan agama  antara suku using dengan suku jawa di banyuwangi.Kebetulan sejak kecil mas say laros hidup di lingkungan masyarakat jawa di wilayah kecamatan pesanggaran banyuwangi.Bagi sebagian kalangan Masyarakat di lingkungan Mas say laros memandang bahwa Seni Tradisi dengan Agama adalah sesuatu yang sangat berlawanan bagaikan air dan minyak dan selamanya tidak akan pernah bersatu.

Bahkan mas say laros sering menjadi objek cibiran masyarakat hanya gara-gara Mas say laros nyantri di Pondok Pesantren Minhajutthullab sumber beras muncar dan disamping itu juga aktif di organisasi seni budaya lokal seperti jaranan,kuntulan, dan Gandrung Banyuwangi.Sebagaian Mereka memandang bahwa orang yang aktif di organisasi seni budaya itu seperti orang yang setengah beragama setengah kafir.

Sehingga sebuah hal yang wajar jika dalam melestarikan seni tradisi khususnya di banyuwangi selatan yang mayoritas masyarakatnya jawa tidak semeriah suku using banyuwangi.Mas say laros sering menemui sebuah masalah ketika sebuah organisasi seni tradisi seperti jaranan ingin membuat kader baru dari kalangan anak kecil,salah satu kendala adalah adanya cibiran masyarakat yang mempengaruhi agar tidak ikut seni tradisi.’’Masak santri kok Njaran, Masak santri TPQ kok njaran. Masak anak MI,MTS,MAN kok belajar tari’’ dan berbagai macam lontaran pedas lainnya yang sering membuat kader-kader baru patah semangat.

Lalu bagaimana menurut suku using banyuwangi dalam memandang sebuah seni tradisi? Beberapa waktu yang lalu paman saya yang berada di wilayah laosan singojuruh banyuwangi menikahkan anaknya yang bungsu.Kebetulan dalam acara pernikahan itu mengundang salah satu group jaranan yang cukup terkenal di banyuwangi guna untuk menghibur masyarakat.Ada sesuatu yang menarik ketika saya menonton kesenian Jaranan ini karena memang mulai para Yogo (penabuh gamelan) sampai penarinya mayoritas adalah  anak kecil.Kira-kira saat itu para pengrawit dan penarinya sekitar kelas 1 SD – 3 SMP an.Meskipun masih kecil jangan di anggap remeh mereka terlihat begitu lincah dalam menari bahkan seperti penari dan pengrawit Profesional.

Dari salah satu pengrawit itu ada juga yang orang dewasa kebetulan beliau adalah salah satu takmir di masjid sebelah barat rumah pamanku.Nach ketika adzan dhuhur berkumandang mereka berbondong-bondong menuju masjid untuk sholat Dhuhur.Mas say laros sempat heran juga melihat tingkah laku mereka,karena bagi sebagian kalangan di desaku itu sesuatu hal yang aneh seorang muslim taat namun kok terjun di dunia seni budaya lokal.

Setelah selesai sholat kita sempat berbincang-bincang dengan beliau,setelah ngobrol ngalor ngidul saya baru tahu jika beliau adalah sebagai takmir masjid.Tentu saja saya bertanya tentang status dia sebagai takmir namun kok aktif di seni tradisi.Beliau menjawab begitu entengnya dengan logat using yang kental.Beliau mengatakan bahwa antara seni tradisi dan agama tidak ada hubungannya..Waktunya kesenian ya kesenian waktunya ibadah ya ibadah.

Beliau mengatakan ‘’Tidak ada dalilnya orang dilarang berkesenian asalkan tidak mengganggu orang lain dan mabuk-mabukkan tidaklah masalah’’ beliau juga menambahkan bahwa kubah masjid yang ada di sebelah barat paman saya itu di beli dari uang khas group seni jaranan yang saat itu seharga 1 juta lebih.Subhanallah,

Dari peristiwa itu aku baru sadar andai saja paradigm masyarakat di desaku seperti itu mungkin akan begitu mudah dalam mengembangkan seni tradisi dan tentunya ketika agama dan kesenian bisa berjalan beriringan tanpa dibeda-bedakan akan tercipta sebuah keharmonisan yang sempurna.

 

  • Di tulis di kamar Mas Say Laros Kanal3 Ringin Mulyo Pesanggaran Banyuwangi  pada hari minggu 28 April 2013 Pukul 22:15 WIB.

 

4 Tanggapan

  1. Matur Suwun kang kritik sarane..
    Ide riko ide kang apik kang…
    Tapi tujuan isun nggawe blog iki myakne kabeh kalangan ngerti kadung banyuwangi iku sugih seni lan budoyo.
    Dadi,kadung isun nulis arrtikel ambi boso osing,berarti seng ngerti mung suku using bain…

    Suka

  2. mas, sak durunge isun jaluk sepura,,,,
    ikikan situs kanggo pelestarian Budaya using, ya kadhung bisa nganggo basa using.
    uwong sing isin kon nganggo basa Inggris, tapi akeh uwong hang isin dikon ngomong basane dhewek.
    BASA USING.
    sepurane hang akeh kadhung ana salahe…….

    Suka

  3. Menurut saya, kalau kita mencari hubungan antara kesenian dan soal keagamaan memang tidak tidak mudah untuk mendapatkan titik temunya. Hal ini karena hubungan transenden atau keagamaan yg bersifat vertikal dan kesenian yg terbentuk dari hubungan antar manusia dan alam yg dapat diartikan hubungan horizontal. Namun sebagai seorang muslim, kita dapat meneladani salah satu wali yang menggunakan sarana kesenian dalam menyebarluaskan ajaran agama Islam di Indonesia yaitu Sunan Kalijaga sehingga seni dan beribadatan telah dapat di padukan untuk diselaraskan seperti halnya yg dilakukan oleh . Sekian semoga bermanfaat.

    Suka

  4. siiip dolor jenggirato wes wayaek

    Suka

JANGAN LUPA DI SUBSCRIBE DAN DI FOLLOW YA GAESS Youtube : Mas Say Laros Banyuwangi Instagram : @massaylaros Facebook : Mas Say Laros Banyuwangi