Blambangan Artist School,Sekolah Kader Calon Seniman Banyuwangi

Keberadaan sanggar di Banyuwangi kini tengah mengalami pergeseran orientasi, jika sepuluh tahun lalu program yang dikembangkan diprioritaskan untuk melahirkan seniman trampil namun sekarang bergeser komersial. Dampaknya, makin sulit mencari seniman yang mau diajak melakukan eksplorasi untuk menemukan bentuk-bentuk baru agar kesenian tradisi mampu berkompetisi dengan dunia hiburan.

Fenomena itulah yang menggerakkan Sunardiyanto (39), komposer tradisi Banyuwangi mendirikan Blambangan Artist School, sebuah sekolah yang bertujuan untuk mendidik calon seniman di bumi Blambangan di bidang seni tabuh, seni lukis dan seni suara. Kalangan yang hendak disasar menjadi siswanya adalah kalangan SD maupun SMA dengan masa pembelajaran selama satu tahun.

“Setiap jenjang dilakukan ujian untuk tingkat dasar, tingkat lanjut dan tingkat atas,” tutur Sunar, seniman tabuh yang telah melanglang ke Spanyol, Irlandia, Australia dan Perancis untuk mengiringi kelompok tari tradisi Banyuwangi arahan Sumitro maupun Sahuni.

Blambangan Artist School memang baru diresmikan pada Februari 2011 bertempat di Desa Kalibaru, Jl. H. Randim 31 yang sekaligus rumah Sunardiyanto. Meski baru dibuka namun sudah hampir 100 anak yang tercatat di kelas tari dan tabuh. Hanya kelas seni lukis yang belum memiliki murid karena antusias masyarakat untuk mengarahkan anak-anaknya untuk belajar melukis masih belum sebanyak tari maupun musik.
Meskipun kehidupannya tak bisa lekang dari kesenian namun Sunar mempunyai obsesi terhadap pengembangan dunia pendidikan khususnya kesenian. Hari-hari panjangnya dihabiskan dengan menjadi guru SDN I dan II Kalibaru untuk mengajar materi lokal bidang studi bahasa Osing, seni budaya dan ketrampilan.

Karena sering melanglang buana dia mengaku wawasannya menjadi kian terbuka sehinga dalam menggeluti seni tabuh dia melihat adanya ruang pengembangan yang tak terbatas. Menurutnya, dalam kesenian tradisional terdapat dua kelompok seniman, yakni seniman tradisi dan seniman pengembangan yang tetap berpijak pada kekuatan tradisi.

“Meski saya berangkat dari kesenian tradisi namun saya mempunyai prinsip, bagaimanapun tradisi bisa disejajarkan dengan kesenian modern di berbagai belahan dunia. Ini sudah buktikan ketika pentas di panggung-panggung dunia dan ternyata mendapat sambutan yang luar biasa. Justru dengan tradisi inilah kita bisa menunjukkan kekuatan kita sebagai bangsa yang mewarisi kesenian agung,” tutur Sunar yang kerap dipanggil ‘Cah Gendeng’ lantaran senang melakukan eksplorasi untuk menemukan bentuk-bentuk inovatif.

Kegigihan mencari bentuk-bentuk baru seperti itu kiranya membuahkan hasil. Pada tahun2009 berkat musiknya mengiringi duta kesenian Banyuwangi akhirnya terpilih sebagai juara umum pada Parade Tari Tingkat Nasional dengan komposisi Gandrung Marsam.

Peraiahan prestasi bagi Sunar telah dialami sejak dirinya duduk di kelas 4 SD. Saat itu dia berperan sebagai penabuh kendang pada kelompok musik di desanya Kalibaru yang sering tampil di berbagai lomba dan kerap terpilih sebagai juara. Mengingat jejak masa kecil itulah yang menyemangati Sunar untuk mendirikan Blambangan Artist School.

“Mendidik kesenian pada usia anak merupakan investasi yang sangat berharga karena pada 20 tahun kemudian hasilnya baru bisa kita saksikan. Oleh sebab itu lewat sekolah kesenian ini saya bisa meyakini bahwa pada 10 atau 20 tahun ke depan kesenian Banyuwangi akan diwarnai oleh kemampuan anak-anak sekarang,” tutur Sunar yang baru meliris buku tentang Seni Tabu Terbangan sebagai panduan siswa SMA, SMK atau Madrasah Aliyah. Kini dia sedang menyiapan buku barunya tentang Seni Tabuh Angklung.
Kembali ke soal pengamatannya terhadap dunia kesenian di daerahnya, tampaknya belum ada yang memikirkan bagaimana menyiapkan kesenian Banyuwangi yang akan datang. Untuk itulah dia menerbitkan buku yang mengulas tentang seni tabu dan seni angklung sebagai panduan pengembangan.

Secara mayoritas seniman tradisi di Banyuwangi umumnya bersikukuh memainkan warna konvensional dan belum banyak seniman yang mampu menjadi pelopor pengembangan yang tetap berpijak pada tradisi. Menurut Sunar, seniman daerah itu masih belum terbaiasa menata konsep pengembangan, baik tentang pemilihan judul, tema, skenario, pengolahan suasana batin kemudian dituangkan menjadi karya musik yang menawan. Dalam setiap proses biasanya dimulai dengan 3 tahap yakni pencarian, penyampaikan dan pengembangan.
Secara terus terang Sunar merisaukan tentang sikap seniman Banyuwangi yang umumnya komersial. “Mereka hanya sibuk mencari order tanggapan dan malas melakukan latihan yang bersifat eksperimen, disamping itu antar-seniman juga sulit berkumpul karena sering terjadi friksi lantaran berebut order tanggapan dan saling menjatuhkan satu sama lain. Kondisi di Banyuwangi sebenarnya sangat memprihatinkan,” tutur suami Dewi Retno Wulandari tersebut saat ditemui di Surabaya. ●Rasi

http://www.dikbangkes-jatim.com/?p=1111

 

 

 

 

JANGAN LUPA DI SUBSCRIBE DAN DI FOLLOW YA GAESS Youtube : Mas Say Laros Banyuwangi Instagram : @massaylaros Facebook : Mas Say Laros Banyuwangi