Tari Gandrung,Maskot Kabupaten Banyuwangi

Senin, 14 Nopember 2011

Jika dibanding dengan masyarakat lain di Jawa Timur, tampaknya komunitas Using memiliki seni tradisi yang lebih banyak dan beragam. Sebut saja beberapa diantaranya; Gandrung, Jinggoan, Mocoan, Kuntulan, dan Angklung. Masing-masing jenis seni ini pun memiliki maknanya sendiri-sendiri. Dari semuanya mungkin Gandrung menempati posisi yang istimewa. Begitu istimewanya, sehingga pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengukuhkan Gandrung sebagai maskot Kabupaten yang terletak di ujung timur Propinsi Jawa Timur itu, menggantikan lambang sebelumnya; ular berkepala Gatot Kaca. Pengukuhan itu diprakarsai sendiri oleh Bupati Banyuwangi, Samsul Hadi, bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Banyuwangi, 18 Desember 2002 yang lalu.

Soal penetapan Gandrung sebagai maskot Banyuwangi tidaklah tanpa kontroversi. Anggota DPRD dari PPP menolak dengan keras keputusan ini, karena menurut mereka, gandrung tidak sesuai dengan Islam, padahal mayoritas masyarakat Banyuwangi pemeluk Islam. Pandangan politisi dari PPP ini mendapat tanggapan serius dari kalangan budayawan yang menganggap bahwa Gandrung tidak melanggar norma-norma Islam, dan justru kesenian inilah yang khas Banyuwangi. Para budayawan juga menganggap bahwa Gandrung mengandung nilai-nilai simbolis perjuangan wong Blambangan sekaligus identik dengan jati diri orang Using dan juga merepresentasikan karakter orang Using yang berakhlak aclak, ladak, dan bingkak (sok tahu, arogan dan tak mau tahu urusan orang lain).

Sebagai tari pergaulan, gandrung tentu saja sangat popular, walaupun dalam beberapa hal mirip dengan tayub, gambyong, jogged, lengger, teledhek, dan ketuk tilu di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Madura Pendalungan. Secara historis, Gandrung tak dapat dilepaskan dari Seblang, sebuah kesenian yang sarat ritual yang keberadaannya terbatas hanya di dua tempat yang terletak di sebelah barat Banyuwangi, yakni desa Bakungan dan desa Olehsari. Pentas Seblang diselenggarakan setahun sekali sebagai upacara ritual bersih desa atau selamatan desa dalam rangka menolak bala, keselamatan warga desa, penyembuhan, kesuburan, dan mengusir roh-roh jahat yang mengganggu ketentraman warga desa.

Meskipun unsur hiburan dalam gandrung tampak menonjol, namun di dalamnya terdapat muatan kepercayaan kolektif yang sangat kuat.
Kekhasan Gandrung Banyuwangi tampak pada lirik lagunya yang berbahasa Using. Sementara tari-gamelan mengesankan perpaduan Jawa-Bali adalah tampilan yang membedakan dari kesenian kesenian Jawa dan Sunda. Gending-gending yang dinyanyikan berkarakter perjuangan. Lirik lagu-lagu tersebut menggambarkan etos perjuangan rakyat Blambangan sejak zaman VOC. Di dalamnya banyak menggunakan simbol yang hanya dimengerti oleh masyarakat Banyuwangi.

Menurut cerita lisan, kesenian gandrung muncul bersamaan dibangunnya kota Banyuwangi pada saat pemerintahan Mas Alit. Antara lain dikisahkan: Setelah perang Bayu usai, Jaksanegara mengundurkan diri sebagai bupati. Atas usul patih Blambangan yang mendapat sebutan Ki Juru kunci, kompeni menunjuk Mas Alit yang ada di Bangkalan sebagai bupati pada tanggal 7 Desember 1773. Sebelum Mas Alit dilantik sebagai bupati dengan gelar Raden Tumenggung Wiraguna pada tanggal 1 Februari 1774, ia mengusulkan agar ibukota Blambangan dipindahkan. Kompeni menyetujui dengan menawarkan tiga tempat, yaitu Kotta, Ulupangpang, dan Pakusiram. Namun Mas Alit menolak dan menawarkan membuat kota baru di sebelah utara dengan membabad hutan Purwaganda. Setelah dilantik Mas Alit mulai mengerahkan tenaga membabat hutan Purwaganda yang kemudian dikenal dengan nama kota Banyuwangi. Bersamaan dengan dibangunnya kota Banyuwangi muncul kesenian yang diberi nama gandrung.

Sejarah mencatat peristiwa puputan (perang habis-habisan) yang heroik itu terjadi di Bayu, Kecamatan Songgon Banyuwangi. Peristiwa ini amat bersejarah sehingga dijadikan sebagai hari lahir Kabupaten Banyuwangi (meski masih menjadi kontroversi hingga sekarang). Peperangan ini pulalah yang melegendakan nama Sayu (Mas Ayu) Wiwit sebagai tokoh pejuang wanita dari Banyuwangi yang menjadi inspirasi munculnya Tarian Seblang. Bahkan oleh sebagian masyarakat, arwah Sayu Wiwitlah yang dipercaya telah menuntun penari Seblang, terutama pada bagian puncaknya ketika penari Seblang sedang melantunkan gending Sukma Ilang.

Perang Bayu sendiri terjadi ketika VOC berkeinginan untuk menancapkan dominasinya di bagian timur Pulau Jawa sebagai upaya untuk merebut Bali. Watak imperialis yang diperlihatkan oleh VOC tentu saja membangkitkan perlawanan dari rakyat Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Jagapati alias Rempeg. Tetapi akhirnya Blambangan jatuh ke tangan VOC setelah benteng pertahanan di Bayu berhasil dikuasai. Episode inilah yang dilukiskan oleh Hasan Ali sebagai satu tragedi bagi sejarah rakyat Blambangan. “Peperangan ini memakan korban tidak kurang dari 60.000 orang rakyat dari jumlah keseluruhan masyarakat Blambangan yang waktu itu tidak sampai 65.000 orang” tulis Hasan Ali dalam Sekilas Puputan Bayu: Tonggak Sejarah Hari Jadi Banyuwangi.

Betapapun sakitnya kekalahan dalam perang itu, amat lebih sakit lagi melihat kenyataan bahwa yang memerangi rakyat Blambangan saat itu adalah saudara-saudara sesama pribumi dari Jawa dan Madura yang diperalat oleh VOC,” tambah Hasan Ali yang juga ayah artis Emilia Contessa dan kakek artis Denada ini. “Karena itu,” sambung Hasan Ali, “Kekecewaan masyarakat Using sempat membuat suku Using menutup diri terhadap komunitas luar. Bahkan dari kekecewaan sejarah itulah nama ‘Using’ dipergunakan untuk mengidentifikasi masyarakat Blambangan.”

Konon, akibat perang Bayu, sebagian besar pasukan melarikan diri ke hutan atau menyingkir ke pedalaman. Dalam jangka waktu yang lama, mereka bertahan di hutan, melakukan perang gerilya. Komunikasi diantara para gerilyawan dapat terjalin berkat partisipasi gandrung lanang yang pada awal pemunculannya digunakan sebagai media perjuangan. Para gandrung lanang menari sambil membawakan lagu-lagu perjuangan (bahasa sandi) mendatangi tempat-tempat yang dihuni rakyat Blambangan untuk memberi informasi tentang keberadaan tentara Belanda. Selain itu mereka juga mempengaruhi dan menganjurkan rakyat Blambangan agar meninggalkan hutan, keluar dari tempat persembunyiannya untuk segera membentuk masyarakat baru.

Pada masa pemerintahan Mas Alit, kesenian Gandrung banyak mengalami perubahan baik dalam tata busana, instrumen musik, maupun lagu-lagu (gending-gending) paju untuk mengiringi tari dan seni pencak silat. Perubahan juga terjadi pada primadona gandrung, yang semula diperankan oleh pria kemudian diganti perempuan. Pola pementasan gandrung terdiri atas: Jejer, Paju, Seblang-seblang. Musik iringan gending jejer yang semula gegap-gempita beralih menjadi irama lembut dan penari mulai melantunkan tembang Padha Nonton sebagai lagu wajib. Gending Padha Nonton terdiri atas delapan bait dengan tiga puluh dua baris. Biasanya gending dilagukan delapan baris saja dan untuk melagukan delapan baris berikutnya selalu dimainkan dua atau tiga lagu sebagai selingan. Dalam gending selingan banyak dipadati pantun-pantun daerah setempat yang disebut basanan dan wangsalan, seperti tampak dalam syarir Padha Nonton berikut:

Padha nonton

Pundhak sempal ring lelurung

Ya pedhite, pundhak sempal

Lambeyane para putra

Para putra

Kejala ring kedhung liwung

Ya jalane jala sutra

Tampange tampang kencana

Kembang Menur

Melik-melik ring bebentur

Sun siram-siram alum

Sunpethik mencirat ati

Lare angon

Gumuk iku paculana

Tandurana kacang lanjaran

Sak unting kanggo perawan

Kembang gadhung

Sak gulung ditawa sewu

Nora murah nora larang

Kang nawa wong adol kembang

Sumbarisena ring Tenmenggungan

Sumiring payung agung

Lambayano membat mayun

Kembang abang

Selebrang tiba ring kasur

Mbah Teji balenana

Sunenteni ring paseban

Ring paseban

Dhung Ki Demang mangan nginum

Selerengan wong ngunus keris

Gendam gendhis kurang abyur

Gending Padha Nonton sebenarnya puisi yang menggambarkan perjuangan untuk membangkitkan semangat rakyat Blambangan melawan segala bentuk penjajahan. Meskipun demikian, keindahan syairnya juga mampu menciptakan ritme vokal untuk mengiringi tari penghormatan sebagai ucapan selamat datang bagi para tamu, seperti halnya tarian gambyong pada awal pertunjukan tayub atau Kidung Salamat pada pertunjukan jaipong. Pesan perjuangan penuh makna simbolis ini dituangkan melalui kata-kata sandi. Makna pesan inilah yang kemudian menjadi dasar perwatakan masyarakat Using dalam menciptakan identitasnya.

Perlawanan

Kesenian Gandrung, tidak lain adalah gambaran perlawanan kebudayaan sebuah masyarakat. Perlawanan terhadap berbagai ancaman, baik yang bersifat fisik maupun pencitraan negatif yang berulang kali terjadi dalam kesejarahan masyarakat Using. Dalam konteks pencitraan, misalnya tampak bagaimana sejarah nasional menggambarkan sosok Ronggolawe yang memberontak karena menjadi korban intrik internal di lingkaran Prabu Wijaya, Raja Majapahit pertama. Nasib Ronggolawe berakhir sebagai pemberontak di bumi Sadeng. Padahal, masyarakat setempat mencatat nama Ronggolawe sebagai tokoh yang berperan sangat besar dalam membantu Prabu Brawijaya mendirikan kerajaan Majapahit. (Dan nasib serupa pun dialami oleh tokoh-tokoh Majapahit sejamannya: Lembu Sora dan Nambi).

Masyarakat dan budaya Using secara historis adalah masyarakat Blambangan, sebuah kerajaan di wilayah ujung timur Pulau Jawa. Sedangkan lahirnya kota Banyuwangi, sebagai nama kabupaten erat kaitannya dengan kerajaan Blambangan yang pada awalnya lebih merupakan bagian dari kerajaan Majapahit. Tapi daerah yang dikenal subur bahkan merupakan lumbung padi Majapahit, kemudian menjelma menjadi pusat kekuatan oposisi yang dalam versi Majapahit maupun kerajaan Jawa Kulon sesudahnya selalu dikategorikan sebagai “konsentrasi pemberontak” dan memuncak dalam peperangan Paregreg (1401-1404). Perang Paregreg sendiri mengilhami penulis cerita perang antara Damarwulan dan Menakjinggo yang kemudian sering dilakonkan dalam pertunjukan Ketropak Mataram dan Jinggoan Banyuwangi dalam versi yang berlawanan. Jika dalam Ketropak Mataram Menakjinggo ditampilkan sebagai pemberontak, penindas rakyat, bertubuh cacat, maka di Jinggoan Banyuwangi ia ditampilkan sebagai pahlawan, gagah berani, tampan, dan memeperdulikan nasib rakyatnya.

Semua gambaran negatif tentang Minak Jinggo (Bre Wirabumi) itu ditolak keras oleh Budayawan Banyuwangi, Hasan Ali. “Itu tidak benar. Salah besar kalau Bre Wirabumi dikatakan buruk muka. Dia ngganteng, hanya saja memang ada goresan-goresan luka di wajahnya. Itupun karena pertempurannya dengan Kebo Marcuet. Dan ia berangkat ke Majapahit bukan dengan maksud memberontak, tapi sekedar ingin menagih janji Majapahit.”

Senada dengan Hasan Ali, Andang CY, seorang seniman kawakan Banyuwangi menuturkan, ”Menak Jinggo sesungguhnya adalah pahlawan masyarakat Banyuwangi. Pertama, ketika dia menumpas Kebo Marcuet yang lalim. Kedua, ketika ia mengangkat senjata melawan Majapahit yang menurutnya telah mengingkari janji untuk menghadiahinya Putri Kencono Wungu setelah mengalahkan Kebo Marcuet.” Nyatanya, Menak Jinggo dikalahkan oleh Damarwulan, seorang anak bekel (tukang kuda) yang kemudian memperistri Putri Kencono Wungu. Bahkan, kekalahan Menak Jinggo inipun berlanjut sampai pada penulisan sejarah tentangnya.

Hikmah

Sebagai satu daerah strategis untuk berinteraksi dengan Nusantara bagian timur, sejak dulu Blambangan tidak lepas dari incaran kerajaan-kerajaan besar di Jawa, termasuk Mataram Islam. Tercatat beberapa kali Sultan Agung melancarkan ekspedisinya untuk menaklukkan Blambangan, bersaing dengan Kerajaan Buleleng Bali. Meskipun gagal, usaha penaklukan ini toh telah menyakitkan perasaan masyarakat Blambangan.

Bisa jadi, letak Banyuwangi sebagai perlintasan antar kebudayaan –yang menjadikannya menjadi ajang klaim dan perebutan wilayah geografis– membawa hikmah tersendiri bagi pengembangan kebudayaan Using. Pergesekan kebudayaan sebagai implikasi dari pertarungan perebutan geografis telah mendewasakan produk kebudayaan Using sehingga menjadi sangat fleksibel terhadap unsur-unsur kebudayaan dari luat. Maka corak produk kebudayaan masyarakat Using—sebagaimana juga halnya kebudayaan Jawa—sesungguhnya kental dengan nuansa “sinkretik” dan “akulturatif”.

Orang tentu dapat melihat bagaimana maskot Kabupaten Banyuwangi sebelum Gandrung adalah ular naga berkepala Gatotkaca. Ular Naga adalah makhluk dalam mitologi Cina. Sementara Gatotkaca adalah adopsi yang dilakukan seniman wayang era Demak (Sunan Kudus dan Kalijaga) terhadap cerita Mahabarata dari India. Atau hadrah Kuntulan, Barongan Using, Angklung Caruk dan masih sangat banyak lagi.

Adakah ini semacam olok-olok kebudayaan dengan bungkus sanepan yang sangat halus? Bahwa siapapun –dan apapun– yang melintasi wilayah kebudayaan Using harus menerima kenyataan bahwa dirinya sedang dipribumikan oleh masyarakat Using. Seperti Segitiga Bermuda atau Lubang Hitam (Black Hole) di antariksa yang akan menyedot setiap materi yang melintasinya? Desantara

darijajagbanyuwangi.blogspot.com

JANGAN LUPA DI SUBSCRIBE DAN DI FOLLOW YA GAESS Youtube : Mas Say Laros Banyuwangi Instagram : @massaylaros Facebook : Mas Say Laros Banyuwangi